The Marriage Cure | [17. Hujan yang Memerangkap]

23.5K 3.8K 1.2K
                                    

Posisi baca? Wkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Posisi baca? Wkwk.




Masih tim Hakim atau udah jadi tim Favita? Atau ga mau masuk tim mana-mana karena terlalu lieur?




Happy reading yaaa. Mari bersakit-sakit dahulu sebelum nanti lebih sakit lagi. XD mehehe




Mau kasih satu emot dulu nggak? 🤎

***





Hakim bergegas melangkah, berjalan di trotoar, beriringan dengan orang-orang yang memiliki langkah cepat yang sama, berkelit beberapa kali bahunya menghindari orang-orang yang berjalan dari arah berlawanan. Derap samar diciptakan oleh sepatu-sepatu para pejalan kaki. Hari kerja, di sore hari, bersama segala urusan yang membuatnya sibuk di luar, juga awan muram yang menggelayut rendah seolah memberi tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Hakim baru saja menepati sebuah janji dengan seorang klien di sebuah restoran yang lahan parkirnya ternyata sudah sesak sejak siang. Jadi, terpaksa dia mencari ruang untuk memarkir mobil dan mendapatkan tempat yang cukup jauh dari letak titik temunya barusan. Jadi, dia masih berjalan menuju ke tempat di mana mobilnya terparkir, nyaris berlari langkahnya di antara orang-orang yang mulai melebarkan payung di atas kepala karena kini titik-titik air hujan mulai turun.

Hakim melangkah lebih gegas, tapi baris air hujan menyerang lebih cepat dari yang dia pikirkan sehingga dia tidak bisa lagi menghindar. Masih berlari, dia mencari tempat berteduh. Satu kanopi sebuah outlet pakaian menjadi pilihannya untuk menepi, berdiri di sana setelah menggerutu karena kemejanya nyaris basah sepenuhnya. Air hujan selalu punya cara untuk mencari celah.

Hakim mengusap-usap lengan, pundak, lalu menepuk-nepuk telapak tangan. Merogoh saku celana untuk meraih ponsel, dia melihat daya baterainya hampir habis dan segera menghubungi Favita sebelum ponselnya mati. Tidak perlu menunggu lama, Favita dengan cepat merespons panggilan teleponnya.

"Halo, Mas?"

"Kamu di mana?" tanya Hakim, wajahnya menengadah. Baris-baris air hujan menyerang lebih deras, dan dia tahu tidak akan bisa cepat-cepat keluar dari tempat berteduhnya sekarang.

"Aku di jalan pulang."

"Hujan," ujar Hakim, memberi tahu.

"Mm ...."

"Jangan ke mana-mana. Langsung pulang, kan?"

"Iya. Ini langsung pulang kok."

"Oke. Hati-hati ya."

Terdengar gumaman dari seberang sana sebelum telepon berakhir. Hakim baru saja menyimpan kembali ponselnya di saku celana saat denting pintu di belakangnya terdengar bersama derit daun pintu yang terbuka. Tubuhnya bergeser, dia sadar diri bahwa sekarang sedang menumpang di sebuah kanopi milik orang lain.

The Marriage CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang