Haiii.Kangen Hakim Favita nggakkk?
Kemarin-kemarin aku lagi banyak kerjaan jadi ngilangnya agak lama maafin yaaa.
Terima kasih karena masih nungguiiin.Aku masih mau kalau ada yang mau ngasih banyak api lho 😠🔥🔥🔥
***
Favita baru saja selesai mandi setelah mengurung diri lama di kamar mandi; menangis, melamun lagi, sampai akhirnya menyalakan air dan benar-benar mandi. Dia mendengar apa yang ibu mertuanya ucapkan, melihat bagaimana orang-orang di sana mencintainya, lalu ingat ... bagaimana jika mereka tahu yang sebenarnya terjadi nanti? Pasti akan sangat mengecewakan.
Kini, Favita tengah berdiri di pagar balkon kamarnya, menempelkan ponsel ke telinga, mendengar suara berat dari seberang sana berbicara. Rambutnya yang basah belum sempat dikeringkan, dia biarkan tertiup angin yang berembus di sekitar halaman samping rumah. "Tapi obatnya udah Papa minum, kan?" tanya Favita. Sesekali dia mendengar Papa terbatuk di seberang sana.
"Udah kok. Lagian, ini masuk angin biasa. Fathe kadang berlebihan, sakit sedikit pasti langsung bawa Papa ke dokter." Papa masih saja membela diri, padahal akhir-akhir ini jelas sikapnya abai sekali pada kesehatan.
"Dokter bilang apa?"
"Papa hanya kurang istirahat katanya."
"Nggak 'hanya' dong, Pa. Papa memang harus banyak istirahat. Papa seringnya kurang tidur akhir-akhir ini." Favita melepaskan napas berat. "Papa di rumah dulu ya selama satu minggu ini, istirahat dulu. Dengar kata dokter. Jangan ke mana-mana," ujar Favita. "Sampai Papa benar-benar sehat, Papa jangan ke mana-mana." Favita mengulang kalimatnya, menekan setiap katanya. Dan dari seberang sana, dia menemukan sebuah gumaman yang terdengar mengalah. "Aku cuma tiga hari kok di sini. Nanti aku langsung ke rumah kalau udah pulang."
"Iya. Kamu tenang aja di sana, nggak usah buru-buru pulang. Nikmati waktu kamu. Kalau ada apa-apa, Papa pasti menghubungi kamu kok," ujarnya. "Salam buat semuanya ya."
"Iya .... Ya udah, nanti aku telepon lagi untuk ingetin Papa minum obat."
"Iya, terima kasih."
Favita mengakhiri telepon saat waktu sudah beranjak gelap. Dia tatap ponselnya yang mulai redup, mati. Lalu, berdiri, dua tangannya menggenggam pagar balkon, menatap gelap di atas yang mengurung lebih pekat. Dia masih diam di sana ketika sebuah suara derit pintu terdengar. Hakim melangkah masuk, berjalan melintasi ruangan dengan kaus dan celana pendek serba hitam. Menoleh sebentar pada Favita, lalu berjalan lagi sebelum akhirnya berdiam di depan rak buku.
"Nyari apa?" tanya Favita, masih berdiri di luar.
Hakim menggeleng. "Nggak," jawabnya. Nyaris hanya menggumam. "Kayaknya Ibu rajin banget nyuruh Bude Upi beresin kamar ini. Rapi banget." Telunjuknya menelusur punggung-punggung buku yang berbaris rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Marriage Cure
Romansa[TSDP #6] Part 2 Saat memutuskan untuk berpisah di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun ketiga, Hakim dan Favita sadar bahwa memberi kabar tentang perceraian pada orang-orang terdekat sama halnya dengan menghancurkan kebahagiaan mereka. Jadi...