BAB 4: SENJA YANG SPESIAL

22.7K 1.6K 31
                                    

SELAMAT MEMBACA
***

Rumana duduk dengan bosan di depan televisi. Sejak tadi kegiatannya hanya menonton berbagai tayangan yang menurutnya membosankan itu. Keempat kakanya belum ada yang pulang, hanya dia sendiri yang bergelar pengangguran itu yang duduk manis di rumah dan tenggelam dalam rasa bosannya.

"Kenapa Ruma?" Tanya Rinjani saat melihat putrinya nampak muram. Dia perhatikan, beberapa kali putrinya itu menarik nafas dan membuangnya dengan kasar.

"Mas-mas pulang jam berapa sih Bun. Ayah juga kemana kok tidak pulang-pulang? Kok rumah sepi." Tanya Rumana pada Rinjani.

Rinjani yang awalnya ingin kekamar, lalu mengurungkan niatnya. Dia justru menemani putrinya untuk menonton. Dia duduk di sebelah Rumana dan ikut menyaksikan tayangan televisi yang tengah di tonton putrinya.

"Ayah pergi lihat peternakan kan tadi. Kalo mas-mas mungkin pulang sore. Kenapa memangnya?" Rinjani mengusap pelan rambut panjang milik putrinya itu.

"Ruma bosan Bun. Kesepian di rumah. Tidak ada teman." Ucap Rumana dengan wajah sedihnya.

Rinjani tertawa melihat ekspresi putrinya yang menurutnya lucu itu.

"Kenapa tadi tidak ikut sama ayah?"

"Tidak boleh. Katanya panas. Nanti hitam."

"Kan Ruma bisa diam di ruangan saja jangan kekandang."

"Tetap tidak boleh, kata Ayah bau nanti Ruma tidak tahan."

"Atau Ruma jalan-jalan sana. Keliling desa, bawa motor. Lihat-lihat suasana, pemandangan sekarang jauh lebih cantik dari pada dulu." Rinjani mencoba menawarkan solusi untuk mengusir kebosanan putrinya. Dari pada terus di rumah dengan memasang wajah kusut seperti itu bukankah lebih baik jalan-jalan.

"Yasudah Bun, Ruma jalan-jalan dulu kalau begitu. Bosan di rumah." Pamit Rumana pada Rinjani. Dia lalu berjalan kearah samping rumah di mana motornya terparkir.

"Jangan sampai senja ya pulangnya." Ucap Rinjani dengan keras.

"Iyaaa..." Sahut Rumana tak kalah kerasnya.

*** 
Rumana mengendarai motornya dengan santai. Sesekali dia menyapa dengan ramah penduduk yang dia lewati. Rumana terus saja tersenyum, menghirup udara segar juga mengamati Beragam aktifitas penduduk yang tertangkap oleh netranya.

Jika di perhatikan lagi, desanya benar-benar mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan jalan-jalan yang awalnya hanya cor sekarang sudah di lapisi aspal seluruhnya. Bahkan jalanan menuju kebun atau sawah yang dulunya hanya jalan setapak sekarang sudah di cor dan bisa di lalui kendaraan. Sehingga mempermudah petani untuk mengangkut bibit atau pupuk kesawah atau ladang mereka.

Pekebunan yang dulu hanya di tanamai kacang dan jagung, sekarang semakin beragam jenis palawijanya.

Melihat kondisi desanya yang sudah mengalami banyak perubahan, Rumana baru sadar jika dia sudah meninggalkan desa ini dalam waktu yang cukup lama.

Rumana asik melihat pemandangan padi yang mulai menguning dari atas jembatan. Saking, fokusnya dengan pemandangan dia tidak sadar jika sebuah motor berhenti di belakangnya.

"Dek Ruma sedang apa disini?" Tanya sebuah suara mengejutkan Rumana.

Rumana langsung menoleh, dan ternyata Rudi sudah berdiri di belakangnya. Batinnya bertanya-tanya kapan laki-laki itu datang.

"Ehhhh Pak Lurah, sedang apa disini?" Tanya Rumana balik.

Rudi yang mendengar pertanyaan Rumana hanya tersenyum. Sepertinya gadis itu tidak menyimak pertanyaannya barusan.

"Saya baru pulang dari kelurahan. Lewat disini, kok lihat Dek Ruma berdiri sendiri. Saya fikir kenapa, jadi saya hampiri." Jawab Rudi dengan sopan.

Rumana lalu menatap penampilan laki-laki di hadapannya itu. Memang masih mengenakan pakaian kerjanya. Itu berarti dia belum pulang.

"Dek, ada yang salah dengan penampilan saya?" Tanya Rudi membuyarkan lamunan Rumana. Gadis itu buru-buru menggeleng. Malu, tertangkap basah menatap kepala desanya dengan tidak sopan.

"Maaf - maaf Pak, saya sedang melamun. Saya tidak papa, hanya sedang menikmati pemandangan saja." Jawab Rumana dengan gugup.

Rudi lalu mengangguk, dia ikut berdiri di atas jembatan itu menemani Rumana. Ikut menatap hamparan sawah yang luas di hadapannya.

"Dek Ruma berapa tahun kemarin perginya?" Tanya Rudi membuka obrolan.

"Tujuh tahun Pak." Jawab Rumana.

"Betah ya di Jakarta, sampai tujuh tahun tidak pernah pulang?"

"Alhamdulillah betah."

"Selama tujuh tahun sudah banyak yang berubah ya," guman Rudi dengan pelan.

"Iya." Jawab Rumana entah sadar atau tidak.

Rudi menoleh ke samping dan tersenyum. Entah gadis itu sebenarnya faham atau tidak dengan maksud dari ucapannya.

"Baru tujuh tahun di tinggal, pemandangan disini banyak yang berubah." Sambung Rumana lagi.

Rudi tersenyum masam, benar saja Rumana tidak menangkap maksud sebenarnya dari pertanyaannya barusan.

"Memangnya selama tujuh tahun kemarin betul Dek Ruma tidak pernah pulang sama sekali ya?"

"Pernah, tiga kali."

"Kapan kok saya tidak dengar kabar kalau Dek Ruma pernah pulang?"

"Waktu bikin KTP, waktu Ayah sakit sama waktu habis KKN." Ucap Rumana lagi. Tujuh tahun pergi dia pulang tiga kali, hanya sejauh Jogja - Jakarta bukan Jogja- Amerika terlalu memang.

"Berarti saya belum menetap di desa waktu itu, masih sibuk ngurusin kerjaan di luar kota. Pantas tidak tau kalau Dek Ruma pernah pulang." Sahut Rudi dengan santainya.

"Iya mungkin," sahut Rumana seadanya.

Mereka kembali terdiam. Baik Rudi maupun Rumana tidak ada yang berbicara. Suasana di antara keduanya terkesan begitu canggung dan formal. Mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu. Padahal sebenarnya tidak juga. Bisa di katakan, mereka sudah saling mengenal sejak kecil.

"Bapak tidak segera pulang? Tidak lelah memangnya habis kerja?" Tanya Rumana dengan asal. Berusaha mengobrol dengan Rudi agar interaksi mereka tidak kaku dan canggung.

"Tidak. Sebentar lagi mungkin. Dek Ruma sendiri tidak pulang, mau senja ini nanti di cari bundanya lo."

Rumana hanya mengangguk pelan. Menatap langit yang mulai memunculkan warna jingganya. Memang sudah senja, tapi entah kenapa dia seperti tidak mau beranjak dari tempatnya sekarang. Seperti meminta pada tuhan, agar senja kali ini di perpanjang waktunya. Entah karena dia ingin menikmati pemandangan untuk waktu yang lebih lama atau ada hal lain yang menahannya disana.

"Nduk, mau senja kok disini?" Tiba-tiba sebuah suara mengintrupsi keduanya.

"Pak Rama," sapa Rudi pada mantan kepala desanya itu.

Rama yang di sapa demikian pun tersenyum ramah.

"Ayah..." panggil Rumana saat melihat ayahnya yang sepertinya baru pulang dari peternakan.

"Ayo pulang mau senja ini," ucap Rama lagi.

"Iya Ayah." Ucap Rumana. Dia lalu bergegas menaiki motornya dan ingin pergi. Namun, sebelumnya dia berpamitan lebih dahulu pada Rudi.

"Pak Lurah, saya duluan nggih sudah senja." Pamit Rumana pada Rudi.

"Iya Dek, silahkan."

"Mari Pak Lurah, kami duluan." Sekarang giliran Rama yang berpamitan.

"Nggih- nggih Pak, monggo silahkan. Hati-hati."

Setelah itu sepasang ayah dan anak itu benar-benar  meninggalkan jembatan dimana Rudi masih berada disana.

Seulas senyum terbit dari wajah Rudi. Rasanya senja hari itu terasa lebih spesial dari senja sebelumnya.

***BERSAMBUNG***

Wng, 10 okt 2023
Salam
E_Prasetyo

JODOH KE 2 PAK LURAH (TAMAT & PINDAH DREAME/INNOVEL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang