Happy reading
•
•
•
•Mereka adalah insan yang disatukan karena perjodohan kedua orang tua mereka. Awalnya keduanya sama-sama menolak dengan ide perjodohan itu, tetapi mereka membuat kesepakatan yang telah disepakati bersama.
Kedua insan itu sama-sama terdiam menatap hamparan rumput hijau yang menjadi ciri khas keasrian taman ini.
"Saya mau terima perjodohan ini."
Mendengar perkataan Devian, sontak Kania menatap pria itu dengan aneh. Bukankah tadi pria itu bersikeras menolak pernikahan mereka?
"Kenapa? Bukannya kamu tadi nolak?"
Devian menghela nafas, ia menatap ke arah langit yang cerah. Dada nya terasa sesak karena harus menjalin hubungan dengan wanita lain selain kekasihnya yang telah wafat, tetapi Devian sadar bahwa ia tidak bisa hidup seperti ini terus.
"Sabina... Kekasih saya yang sudah meninggal lebih dulu. Dia sakit keras bertahun-tahun sampai akhirnya dia nyerah. Di titik terakhirnya Sabina berpesan pada saya, bahwa saya harus bahagia." Ucap Devian yang tiba-tiba menceritakan hal itu, tampak raut kesedihan yang mendalam pada pria itu.
"Bantu saya untuk bahagia, Kania. Semenjak kepergian Sabina, saya tidak lagi mengerti arti bahagia sesungguhnya. Saya ingin Sabina bahagia jika melihat saya bahagia, bantu saya untuk melupakan Sabina..."
Ada rasa sesak yang mendalam saat mendengar penuturan Devian mengenai Sabina. Devian begitu mencintai Sabina. Tidakkah Devian sadar bahwa selama ini Kania mencintainya?
Kania menggeleng tegas, "Enggak. Aku gak mau jadi perantara kamu untuk melupakan seseorang." Lebih baik Kania tidak menikah daripada harus hidup dalam bayangan orang lain.
Devian memegang lengan Kania, ia menatap wanita itu dengan tulus. "Ayo kita bangun rumah tangga yang semestinya. Saya akan berperan sebagaimana suami yang sesungguhnya, dan kamu juga sebaliknya. Saya janji akan berusaha membahagiakan kamu, Kania."
Kania tetap kukuh, ia menggeleng cepat. "Aku gak mau menikah dengan seseorang yang hatinya masih milik orang lain."
"Kania... Saya mohon, bantu saya melupakan Sabina. Saya ingin orang tua saya bahagia, saya rasa kamu juga begitu."
Kania mengalihkan pandangannya, memori nya berputar mengenang semua jasa orang tuanya.
"Dua tahun lamanya aku mencintai secara diam-diam. Jauh sebelum ada perjodohan ini aku sudah lebih dulu jatuh hati padamu, mas." Ucap Kania menatap kosong kedepan.
Devian yang mendengar itu menatap Kania tidak percaya. "Kania, kamu serius?"
Kania terkekeh miris, ia menatap Devian dengan lekat. "Untuk apa aku bercanda soal perasaan?"
"Aku memilih pendidikan yang jauh agar tidak melihatmu lagi, mas. Saat orangtuaku menyuruhku pulang, kenapa justru hal ini yang aku dapatkan?"
"Di sisi lain aku bahagia karena aku bisa menikah dengan seseorang yang aku cintai, tetapi di sisi lain aku merasa kasihan pada diriku sendiri. Calon suamiku masih mencintai orang lain." Lanjut Kania yang terkekeh pada saat diakhir kalimat.
Nafas Devian tercekat, kini tekadnya untuk berbahagia dengan orang lain semakin bulat. "Kalau begitu kamu harus bantu saya, bantu saya untuk mencintai kamu."
"Apa jaminan yang aku dapat?" Tanya Kania yang tidak mau semata-mata mengorbankan perasaannya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak mencintainya.
Ia adalah tipikal orang yang lebih ingin dicintai daripada mencintai.
"Saya tidak punya apa-apa Kania, tetapi saya bisa memastikan jika pernikahan kita adalah pernikahan pertama dan terakhir saya."
TBC
asikk cerita baru nih
semoga temen² suka ya!!
untuk awal segini dulu aja
vote&komen
Sorry for typo
seee uuuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
His Shadow
RandomHazana Kania tidak pernah menyangka jika menjadi bayang-bayang seseorang begitu menyakitkan, terlebih jika yang tega melakukan itu adalah suaminya sendiri. Devian, suaminya berjanji untuk mencintainya. Namun pertanyaannya, apakah Kania sanggup menu...