Happy reading
•
•
•
•Kania menghapus kasar air matanya, nafasnya memburu. Sungguh, tubuhnya benar-benar lelah setelah berkali-kali bulak balik muntah-muntah. Belum lagi nafsu makan dan penciumannya yang mendadak sensitif. Itulah sebabnya mereka tidak jadi pergi ke rumah orangtua Devian, kondisi Kania malah semakin memburuk sehabis pulang bekerja.
"Udah, jangan nangis terus. Capek kamu-nya. Tidur aja ya," bujuk Devian lembut dengan mengusap-usap kepala wanita itu.
"Udah berbulan-bulan lamanya, kamu masih sama ya?" Lirih Kania membuat Devian tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Harapan yang aku punya semakin hari semakin terkikis, kira-kira kapan kamu cinta aku Mas?" Devian menegang. Pertanyaan yang masih belum bisa Devian jawab hingga saat ini.
"Nia..." Mendengar ucapan Devian yang tidak memberikan jawaban pasti namun Kania tahu jawabannya.
Rasa sesak mulai memenuhi rongga dada nya, nyeri itu semakin lama semakin menusuk hingga Kania terkadang tidak mampu untuk menanyakan hal itu lagi. Dia terlalu takut menanyakan kapan suaminya mencintainya, karena pasti jawabannya akan sama seperti sekarang.
"Mas..." Nafas Kania tercekat, ia mati-matian mempertahankan suaranya. "Kalau suatu saat aku udah gak sanggup, tolong lepasin aku ya?"
Devian menggeleng tegas. "Jangan ngaco kamu. Saya gak akan lepasin kamu, lalu gimana dengan anak kita? Jangan pikirin hal itu lagi."
"Aku capek Mas, kalau keadaan kamu sudah selesai dengan masalalu mu mungkin aku akan sedikit terobati." Keluh Kania lirih, matanya sayu dengan lingkaran hitam di bawahnya. Ia tidak bisa tidur dengan baik akhir-akhir ini.
Percakapan itu terhenti. Keduanya tertidur setelah berbicara singkat namun penuh dengan emosi itu.
Keesokan harinya, seperti hari-hari sebelumnya Kania tetap ngotot ingin masuk mengajar kelas. Sebagai suami yang hanya iya-iya saja, akhirnya Devian tetap mengantarkan Kania ke kampus. Ia mewanti-wanti wanita itu agar selalu menghubunginya jika terjadi sesuatu.
"Selamat pagi, Bu Kania." Sapa riang seorang pemuda bertubuh tinggi keturunan arab itu, alisnya yang tebal serta bulu matanya yang lentik sangat menjadi daya tarik utama dalam pesona pria itu.
"Pagi, Kevin."
"Wah, ibu lemas banget hari ini? Sakit ya?" Tanya mahasiswa semester akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya itu dengan nada khawatir.
"Saya kurang enak badan hari ini," jawab Kania tidak mau menjelaskan lanjut.
"Kalau begitu nanti siang saya antarkan makan siang ke ruangan ibu ya? Sekalian obatnya juga." Tawar Kevin berinisiatif, pria itu tersenyum manis.
"Tidak usah, Kevin. Saya gak boleh minum obat sembarangan. Saya permisi dulu." Kania melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda karena sapaan basa-basi itu.
"Saya bawakan makan siang saja ya Bu? Ibu suka masakan rumahan kan? Kebetulan adik saya akan mengantarkan bekal dari Mama saya hari ini." Tawar Kevin tidak menyerah, ia mengejar langkah dosen muda itu.
Belum sempat Kania akan kembali menolak tawaran laki-laki itu, Kevin justru memotong perkataannya dan pergi lebih dulu.
"Oke, mau ya? Saya pamit dulu kalau begitu, permisi Bu."
Dia Kevindra Hardjoeso, mahasiswa semester akhir yang sudah lama ngebet ingin mendekati Dosen muda favoritnya itu. Tidak main-main, Kevin benar-benar menunjukan perhatiannya terang-terangan kepada semua orang. Namun mengetahui kini dosennya sudah menikah, Kevin sedikit menjaga jarak dengan Kania.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Shadow
RandomHazana Kania tidak pernah menyangka jika menjadi bayang-bayang seseorang begitu menyakitkan, terlebih jika yang tega melakukan itu adalah suaminya sendiri. Devian, suaminya berjanji untuk mencintainya. Namun pertanyaannya, apakah Kania sanggup menu...