Happy reading
•
•
•
•Perubahan sikap Kania tidak hanya dengan selera gadis itu yang mendadak gila barang-barang mahal, kini Kania mulai membeli segala macam bibit tanaman yang niatnya akan wanita itu tanam di taman depan rumah mereka. Tidak hanya jenis-jenis bunga, tanaman sayuran seperti cabai, tomat, pakcoy, dan lain-lain ia tanam juga. Tetapi nanti, jika sudah tidak malas katanya.
Kania tersenyum puas saat melihat banyak bunga-bunga kering yang sudah ia pesan kini sudah sampai. Bunga itu sengaja ia beli untuk menjadi hiasan dinding, untuk bonus give yang sering ia bagikan dalam packaging penjualan online dompet miliknya. Kania memang memiliki bisnis online kecil-kecilan, ia menjual produk pernak-pernik dan aksesoris kerajinan tangan buatan rumahan.
Sudah dibilang jika karir Kania itu cemerlang. Meskipun masih menjadi dosen junior namun ia memiliki beberapa bisnis lain yang menambah cukup banyak pendapatan nya. Ia juga memiliki rumah industri tempat dibuatnya produk-produk miliknya.
"Kamu beli itu semua?" Tanya Devian dengan wajah super lelahnya, ia baru saja pulang dari kantor. Banyaknya pekerjaan membuat tubuhnya banyak di forsir hingga kelelahan.
Kania tersenyum namun senyum ini bukanlah senyum tulus yang biasa Devian lihat sebelumnya. Perubahan wanita itu membuatnya gampang tersenyum, namun bukan jenis senyum yang melambangkan kasih sayang atau kelembutannya. Seperti senyum yang menutupi luka. Dan Devian tidak suka senyum yang Kania tampilkan akhir-akhir ini, senyum itu berbeda.
"Iya, cantik ya bunga-bunga nya?" Sahut Wanita itu menatap berbinar bunga-bunga kering yang ada di atas meja.
"Bagus kok, buat apa emangnya?"
"Buat give tambahan kalau ada yang check out lebih dari satu, rata-rata pembeli produk aku itu kan cewek, pasti suka banget kalo dikirim bunga-bunga gini." Jawab Kania antusias.
"Tapi gak semuanya suka bunga-bunga kering kaya gini, Nia. Ada beberapa yang lebih suka give yang lain, contohnya mungkin kamu bisa tambahin aksesoris kecil-kecilan, pasti mereka suka juga." Saran Devian lembut, berhati-hati agar Kania tidak tersinggung.
"Oke, nanti aku coba. Aku pergi dulu ya? Mau ke home industri." Kania mengangguk, ia menatap Devian menunggu jawaban laki-laki itu.
"Gak bisa disini dulu? Saya baru pulang. Capek, banget." Devian tampak keberatan, lagipula tidak salah kan jika seorang suami meminta istrinya untuk menemaninya? Jelas tidak.
"Aku sibuk. Makanan udah aku siapin di meja kayak biasanya. Yaudah, aku berangkat dulu ya?" Kania meraih tangan Devian hendak salim. Ia tidak peduli dengan respon suaminya yang tampak keberatan.
Devian tetap menahan Kania, ia memegang tangan wanita itu. "Sebentar ya, temenin saya makan doang. Baru kamu boleh pergi." Bujuk Devian, ia tampak seperti suami yang kekurangan perhatian dari istri.
Kania menggeleng tegas. "Gak bisa, Mas. Di hidup aku bukan cuma kamu, aku punya banyak urusan lain. Lagipula semua kebutuhan kamu tetep aku penuhi kan? Nah, sekarang waktunya aku fokus sama hidupku sendiri."
Selesai Kania mengatakan itu, Devian tidak mampu lagi menahan wanita itu. Ia membiarkan Kania pergi. Jika mau bersikap egois, Devian bisa. Hak nya sebagai suami mampu melarang istrinya pergi kemanapun, namun ia sadar diri. Mereka tidak seperti suami istri kebanyakan yang umumnya menikah karena saling mencintai. Dan Devian merasa tidak berhak untuk banyak menuntut.
****
Sebenarnya pergi ke rumah industri miliknya tidak akan memakan waktu lama, hanya sekedar tanya-tanya dan mengecek saja sudah cukup. Tidak sampai memakan waktu berjam-jam. Kania melirik jam tangannya, masih belum terlalu malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Shadow
RandomHazana Kania tidak pernah menyangka jika menjadi bayang-bayang seseorang begitu menyakitkan, terlebih jika yang tega melakukan itu adalah suaminya sendiri. Devian, suaminya berjanji untuk mencintainya. Namun pertanyaannya, apakah Kania sanggup menu...