Happy reading
•
•
•
•Seperti biasa, Kania di jemput suaminya ketika jadwal pulang mereka sama. Ada beberapa saat dimana jadwal mereka berbeda, baru pada saat itu Devian tidak bisa menjemput Kania, Devian akan menyuruh asistennya untuk menjemput Kania.
Hari sudah sore dan matahari mulai terbenam menyisakan langit sore berwarna orange.
"Mas, mampir dulu ya mau beli martabak di tempat biasa." Ucap Kania mengingatkan.
Devian mengangguk, ia mulai menepikan mobilnya di tempat penjual martabak langganan Kania.
"Kamu tunggu disini aja, biar saya yang beli."
Kania langsung menolak. "Eh, gak usah mas, biar aku aja. Kamu tunggu disini aja, gak lama kok."
"Kania, biar saya aj——"
"Nanti kamu lupa lagi, aku lagi gak mau badmood sama kamu." Potong Kania yang membuat Devian terdiam.
Kania pergi untuk membeli martabaknya.
Sementara Devian masih fokus pada pikirannya. Ini bukan hanya sekali dua kali, sudah terhitung beberapa kali sejak Devian tanpa sengaja melupakan suatu hal yang berkaitan dengan Kania maka gadis itu tidak pernah meminta bantuannya lagi.
Saat itu, sebelum peristiwa Devian kelupaan membeli rasa martabak keju, waktu itu Kania menitip membeli bakso.
"Mas, mau kemana?" Tanya Kania melihat suaminya yang sudah rapih.
"Ke tempat biasa," jawab Devian yang dimana Kania sudah tahu. Tempat itu ialah tempat peristirahatan terakhir Sabina, makam gadis itu.
Kania tidak pernah melarang Devian pergi ke makam Sabina.
"Aku boleh nitip bakso nggak Mas? Kayaknya enak lagi panas-panas gini makan yang pedas-pedas."
Devian mengangguk tidak keberatan.
Sepulang dari makam Sabina, Kania telah menunggu Devian cukup lama dengan sabar. Sayangnya sabar Kania kali ini tidak terbayar dengan baik. Devian lupa jika Kania menitip sesuatu padanya.
Tahu gitu Kania memilih membeli lewat aplikasi online saja. Memang salah Kania sendiri, Devian jelas tidak salah karena lupa itu manusiawi.
Lalu pernah sekali Kania meminjam laptop milik suaminya, ternyata wallpaper laptop pria itu masih foto Sabina. Ponsel, laptop, semuanya masih tentang Sabina. Mulai saat itu, Kania tidak pernah lagi meminjam atau meminta bantuan pada Devian, karena jika ia melakukan itu maka Kania harus siap-siap mendengar nama Sabina sebagai alasan mengapa Devian melakukan hal itu. Semuanya pasti karena Sabina.
Apa se-trauma itu Kania sampai-sampai tidak mau melibatkan Devian lagi dalam setiap kegiatan kecilnya?
Tidak lama Kania kembali dengan membawa bungkusan Martabak keju kesukaannya.
Devian mulai kembali menjalankan mobilnya, sementara Kania memakan martabak itu dengan santai. Ia suka sekali martabak, apalagi rasa keju.
"Mau mau? Cobain deh, ini enak banget." Kania menawarkan suaminya dengan menyuapkan potongan martabak yang diterima oleh suaminya.
Devian mengangguk membenarkan, "enak."
Tring!
Bunyi ponsel membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara, ponsel milik Devian berbunyi sebentar menandakan ada pesan masuk.
"Tolong buka handphone saya Nia, takutnya penting."
Kania yang masih mengunyah martabaknya menggeleng tidak mau. "Kamu aja sendiri, aku gak mau buka barang-barang punya kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Shadow
RandomHazana Kania tidak pernah menyangka jika menjadi bayang-bayang seseorang begitu menyakitkan, terlebih jika yang tega melakukan itu adalah suaminya sendiri. Devian, suaminya berjanji untuk mencintainya. Namun pertanyaannya, apakah Kania sanggup menu...