7

192 36 0
                                    

Junkyu melihat sekeliling saat sadar jika saat ini ia tengah berada di sebuah pondok. Jubah luarnya sudah terbuka, kulit putih mulusnya yang terdapat banyak goresan akibat cakaran singa sudah terbungkus dengan ramuan yang ia sendiri tidak tau namanya.

Saat Haruto menggendongnya tadi karena khawatir, Junkyu justru tertidur dengan nyaman seolah tidak terjadi apa-apa. Karena merasa tidak ada siapa-siapa di pondok itu, Junkyu memutuskan untuk sekedar melihat-lihat di mana saat ini ia berada.

Sebuah sungai yang mengalir jernih menyambutnya saat hendak melangkah keluar pondok. Di depan pondok itu terdapat sebuah dipan yang digunakan untuk bersantai dan puluhan pohon pinus menjulang tinggi.

"Makan yang banyak."

Junkyu menoleh ke samping, melangkah perlahan hanya untuk menemukan si pemilik suara. Ia tersenyum kecil ketika melihat Haruto sedang membakar ikan bersama seorang anak kecil yang mungkin saja berusia empat tahun dan terlihat asing di mata Junkyu. Sesekali Haruto mengusap kepala anak itu dan memberi semua ikan yang ada padanya.

Ada perasaan bersalah karena telah membohongi Haruto hari ini. Walaupun tidak sepenuhnya bohong, tapi mengalahkan seekor singa bukan hal yang sulit bagi Junkyu. Ia hanya ingin Haruto berhenti curiga padanya.

"Kau sudah baikan?"

Lamunan Junkyu seketika buyar. Ia berjalan mendekati Haruto dan berjongkok di antara Haruto dan anak itu.

"Aku baik-baik saja. Terimakasih sudah menolongku tadi."

"Tadi? Kau tidak sadar selama tiga hari."

Mata Junkyu seketika membulat. Ternyata sudah tiga hari dia tertidur. Yah, benar-benar hanya tertidur, karena Junkyu sudah memeriksa seluruh tubuhnya dan tidak ada luka yang berarti di sana selain luka goresan yang menurutnya bukan apa-apa.

"Pantas saja aku lapar," lirih Junkyu

Haruto mengangkat sudut bibirnya lalu memberi seekor ikan yang baru saja ia bakar pada Junkyu.

"Terimakasih," ucap Junkyu, "siapa anak ini?"

Anak itu menatap Junkyu polos lalu tersenyum manis.

"Tidak tau. Aku menemukannya di pinggir jalan, mungkin gelandangan," jawab Haruto asal

Junkyu mendelik menatap anak itu dan Haruto bergantian. Menilai jubah putih anak itu yang sangat bersih, tidak mungkin dia seorang gelandangan. Tapi karena terlalu malas untuk berdebat, Junkyu mengangguk saja.

"Siapa namamu anak kecil?"

"Hwan."

"Hwan? Aku Junkyu. Apa kau benar-benar seorang gelandangan?"

Hwan menatap Haruto dan Junkyu bergantian. Ia tidak paham apa itu gelandangan yang Junkyu maksud.

Haruto menggeleng tidak habis pikir. "Kau bertanya hal seperti itu kepada anak kecil, apa menurutmu dia paham?"

"Paman Ruto, gelandangan itu apa?"

"Gelandangan itu artinya tampan." Bukan Haruto, Junkyu yang menjawab pertanyaan itu dengan seenaknya

Hwan mengangguk. "Ohhh. Paman Ruto juga gelandangan."

Junkyu menahan tawanya melihat wajah merah Haruto. Entah mengapa menjahili Haruto membuat moodnya membaik. Manusia kaku seperti Haruto memang perlu dirinya agar lebih ekspresif.

"Kenapa marah? Aku yakin kau juga tidak akan menjawab dengan jujur," ucap Junkyu acuh

Haruto segera berdiri mengambil sekeranjang bunga teratai yang sejak tadi hanya tergeletak di atas tanah lalu memberinya pada Junkyu. Daripada berdebat lagi, itu hanya membuat energinya terkuras habis.

BOUNDARIES || HARUKYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang