24

187 35 0
                                    

Junkyu tersenyum mengejek pada pemimpin aliansi. Bahkan meskipun saat ini seluruh tubuhnya dipenuhi luka cambukan, pemuda itu tetap tidak ingin menurunkan sedikit pun egonya.

Setelah mendapat hukuman cambuk petir sebanyak seratus kali di sebuah tiang ikat, ratusan lalat botfly dilepaskan hingga menggerogoti lukanya yang terbuka.

Terkadang Junkyu merasa mati saat itu juga jauh lebih baik daripada tersiksa seperti itu tanpa bisa melakukan apapun.

"Aku bisa saja membunuhmu, tapi aku masih membutuhkan tenagamu untuk menyelesaikan misi ini. Empat hari lagi, atau aku akan melakukan hal yang lebih menyakitkan dari ini. Apa kau mengerti?"

Bahkan saat pemimpin aliansi menggunakan teratai pembunuh untuk menekan tubuhnya, Junkyu tidak melakukan apapun selain membiarkan darah segar itu menetes dari lubang hidungnya.

Saat tali yang mengikat tubuhnya terlepas, tubuh Junkyu jatuh begitu saja di atas tanah tanpa perlawanan apapun.

"Kalau kau begitu hebat, kenapa tidak membunuhku sejak dulu?"

Pemimpin aliansi tersenyum, berjalan mendekat lalu menginjak lengan Junkyu hingga pemuda itu kembali meringis kesakitan.

"Singkat saja, aku masih membutuhkan sesuatu yang ada pada dirimu, tapi sebelum itu, kau harus mengambil jantung Pengeran Serigala untukku."



.



.



.



Junkyu berjalan gontai tak tentu arah. Sebelumnya ia berpikir jika pemimpin aliansi benar-benar akan membunuhnya, tapi sekarang, ia kembali dipaksa kembali ke pulau Jeju untuk menyelesaikan misinya hari ini juga.

Melihat pelabuhan dari atas gunung Baekdu yang masih berkisar puluhan kilo lagi di depan sana, Junkyu tidak yakin ia bisa sampai di sana dengan kondisi tubuhnya yang selemah ini. Ia bersandar pada salah satu batang pohon ketika tubuhnya terasa semakin oleng. Ternyata dirinya yang terkenal hebat bisa menjadi seperti ini hanya karena kebodohannya sendiri.

"Aku mencarimu, tapi seseorang berkata kau pergi ke Mongol karena urusan kerajaan. Lalu kenapa wajahmu se-pucat ini? Apa mereka tidak memberimu makan?"

Junkyu terperanjat mendapati Haruto tiba-tiba berada di sampingnya. Ia berpikir jika pemuda itu sudah pulang ke Jeju bersama murid sekte Gunung Bunga yang lainnya.

"Haru ... aku sakit, semalam tubuhku demam, jadi aku meminta pulang lebih dulu."

Haruto berjongkok di depan Junkyu lalu menarik lengan pemuda itu agar ia dengan mudah bisa menggendong tubuh Junkyu.

Junkyu menutup mata menahan rasa sakit di sekitar tubuhnya yang bergesekan langsung dengan belakang Haruto.

"Aku pikir kau sudah kembali ke Jeju."

"Apa kau pikir aku akan benar-benar pergi tanpa memastikan keadaanmu?" balas Haruto yang membuat Junkyu bungkam.

"Disebelah timur Jilin ada sebuah tempat bernama Apricot Valley. Di musim semi seperti ini, biasanya ribuan pohon persik akan berbunga di lembah itu. Bisa kita ke sana?"

Haruto menggeleng tidak setuju. "Kau sedang sakit. Kita akan ke sana nanti."

"Nanti? Nanti kapan?"

"Di saat kau sembuh. Kita masih memiliki banyak waktu di masa depan."

Junkyu tersenyum kecut. Entah waktu di masa depan yang Haruto maksud itu akan benar-benar tiba atau tidak, tapi ia yakin jika semuanya hanya sebatas angan.

"Haru, aku pikir aku tidak akan mengikutimu lagi."

Langkah Haruto terhenti, ia melirik Junkyu yang tetap tenang. Entah apa lagi yang dipikirkan pemuda itu kali ini. Jika dulu Haruto selalu meminta Junkyu menjauh, namun kali ini ia akan mencabut kembali kata-kata itu. Meskipun tidak pernah mengatakannya secara langsung, tapi Haruto cukup terusik jika pemuda itu tidak bersamanya, dan perkataan Junkyu tadi mampu menciptakan berbagai tanda tanya di otaknya.

BOUNDARIES || HARUKYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang