"Ada yang berantem! Ada yang berantem!"
Kelas Marsha yang tadinya hening karena semua asik mendengarkan sebuah cerita legenda Nusantara dari Bu Sisil, mendadak ramai karena terdengar seruan-seruan dari luar serta langkah-langkah kaki yang berlarian di koridor.
"Tunggu sebentar." Bu Sisil keluar untuk mencari tahu. Anak-anak pun ikut penasaran dan memanjangkan leher mereka untuk mengintip dari jendela. Bahkan beberapa ada yang mengekor Bu Sisil.
Bu Sisil hanya sebentar. Beliau hanya melongok di pintu agak lama untuk mencari tahu, tapi kemudian masuk lagi, menyuruh anak-anak untuk tenang dan duduk di bangku masing-masing.
"Ada apa Bu? Siapa yang berantem?" tanya Rizki selaku ketua kelas mewakili pertanyaan di benak teman-temannya.
"Nggak papa. Nggak usah peduliin yang diluar. Udah kita lanjut aja cerita kita yang tadi."
Meski semua nurut untuk duduk di bangkunya masing-masing, tapi suasana belum tenang. Mereka masih saling bertanya ke teman terdekat, mengira-ngira siapa yang berantem di sekolah.
Terlebih Marsha. Dia yang baru saja ingat bahwa jam sekaranglah saatnya Arfin menemui "orang itu", jadi menduga-duga : jangan-jangan Arfin yang berantem? Jantung Marsha mencelos. Dia yang biasanya paling antusias mendengarkan kisah-kisah dari Bu Sisil kini jadi tidak tertarik sama sekali. Tapi masa Arfin berantem, sih? Maksudnya, Arfin kan bukan tipe orang yang gampang tersulut emosi?
Ughh, daripada Marsha cuma bisa menebak-nebak, akhirnya dia memutuskan untuk memastikannya sendiri. Dia berdiri, mengangkat tangan, menggunakan alasan pergi ke toilet agar diizinkan keluar kelas.
Marsha langsung menuju gedung sekolah belakang. Ternyata benar, ada ramai-ramai di sana. Dan setelah buru-buru menerobos kerumunan untuk memastikan, ternyata instingnya benar. Dia melihat Arfin sedang berkelahi dengan... Kak Rian? Mata Marsha menyipit karena shock. Meskipun sudah menduga bahwa selama ini Rian lah dalangnya, dia tetap tak menyangka. Seragam mereka berantakan dan wajah mereka sudah penuh luka dan darah. Mereka saling tonjok dengan muka beringas.
"ARFIN!" seru Marsha sambil berlari menghampiri saat Arfin yang kalap berhasil melumpuhkan Rian di bawahnya dan mendaratkan kepalan tangannya di wajah Rian. Marsha berlari mendekati perkelahian itu bersamaan dengan datangnya para guru yang kemudian melerai mereka. Pak Pri dan Pak Santoso menarik tubuh Arfin menjauh dari Rian.
"A', kamu kenapa?" Marsha bertanya setelah menyentuh lengan Arfin, Marsha menggigit bibir karena air matanya hampir jatuh. Melihatnya begini, mendadak hati Marsha sakit. Arfin tidak mau meresponnya, tapi Marsha bisa melihat sorot mata Arfin yang seperti kesetanan pada Rian. Sementara Rian yang masih telentang di bawah, tertawa. Ya, tertawa. Seolah dialah setan yang baru saja sukses melaksanakan tugasnya menghasut manusia. Karena ini bukan tentang Rian yang kalah adu fisik, tapi karena Rian memang hanya ingin memancing kemarahan Arfin. Dia puas karena misinya berhasil.
Pak Pri membawa mereka ke ruang Kepala Sekolah untuk diinterogasi. Tidak ada yang boleh masuk, termasuk Marsha. Jadi dia memutuskan untuk menunggu di samping pintu, bersama anak-anak lain yang bahkan mengintip jendela mencari tahu. Hatinya berkecamuk, sementara dengung-dengung spekulasi mulai berdatangan.
Marsha pun harus tutup mata dan kuping rapat-rapat saat semua perhatian semua anak tertuju padanya dan membicarakan hal-hal yang buruk tentangnya. Kalau sebelum-sebelumnya dia sudah sabar, sekarang harus ekstra sabar lagi.
"KALIAN ITU SAMA-SAMA BERPRESTASI, TAPI KENAPA KELAKUAN KALIAN SEPERTI TIDAK BERPENDIDIKAN?!" Saking kerasnya, suara Pak Muldoko sampai bisa terdengar dari luar. "KATAKAN! APA ALASAN KALIAN BERKELAHI?!"
Hening. Tidak ada suara apapun kecuali anak-anak di luar yang masih berisik. Marsha mepet-mepet ke pintu, sampai anak yang di sana bergeser-geser, lalu menaruh kupingnya di daun pintu. Marsha ikut kaget saat mendengar suara meja dipukul. "KENAPA NGGAK ADA YANG JAWAB!"
"Masalah keluarga, Pak." kali ini suara Arfin terdengar. Tapi segera di bantah oleh Rian. "Lo pikir kita keluarga?"
Marsha mengabaikan kebingungannya karena pernyataan Arfin. Dia menjauhkan diri dari pintu dan berdoa untuk Arfin. Jangan sampai Arfin mendapat masalah karena berantem dengan Rian. Diskors juga tak apa, asal jangan sampai dikeluarkan.
Marsha menunggu agak lama sampai akhirnya pintu ruang Kepsek dibuka, membuat anak-anak yang masih di sana seketika membubarkan diri. Marsha segera menemui Arfin, mengabaikan tatapan Rian yang masih penuh kebencian pada mereka sebelum akhirnya berlalu.
"Ikut, yuk." Arfin meraih tangan Marsha lalu membawanya pergi dari tempat itu.
"Kemana?"
Arfin tidak menjawab, membuat Marsha berdecak kesal.
"A'! Ada apa sih sebenarnya? Bener Kak Rian, kan? Dia orangnya? Terus kenapa kamu bisa sampai berantem sih sama dia?"
Mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari Marsha, Arfin menghentikan langkah, menoleh pada Marsha. Otomatis Marsha juga berhenti. Ditatapnya cowok di depannya itu lekat-lekat, menunggu jawaban.
"Kalau Rian ngomong macem-macem, nggak usah didengerin, ya? Nggak usah diladeni."
"Iya, tapi kenapa?" Kening Marsha benar-benar terlipat rapat, benar-benar tidak mengerti dengan sikap Arfin yang terlihat gusar dan sarat kekhawatiran.
Arfin menghela napas seolah menyiapkan hati saat menjawab. "Dia... anak papaku yang selama ini Mama cari-cari."
"Hah?" Marsha mematung seketika.
YOU ARE READING
The Prince's Escape [Season#2 END✅]
Teen FictionKarena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya yang bak istana dan memilih bertahan hidup di sebuah kos sepetak yang hanya berisikan kasur buluk dan lemari pakaian usang. Namun dia bisa me...