Marsha yang sudah berada di sekolah 30 menit sebelum pelajaran dimulai, berjalan mondar-mandir di depan gerbang sekolah menunggu Arfin datang. Dia masih harap-harap cemas, khawatir Arfin tidak masuk meski semalam cowok itu sudah janji kalau hari ini mereka akan bertemu di sekolah.
"Shaaaa...!!!"
Suara melengking Mona langsung terdengar begitu cewek itu keluar dari mobil yang mengantarnya lalu berlari kecil ke arah Marsha. "Heh, lo sama Arfin jahat banget sabtu kemarin ninggalin double date kita! Udah gitu WA gue nggak ada yang dibalas lagi!"
Marsha nyengir bersalah mengingat kejadian itu. "Sori, Mon. Urgent, jadi nggak sempet pamit. Lo sama Bintang lagi asik live sih, nggak enak ganggu."
"Urgent, urgent! Emang kalian ultraman, begitu dapat panggilan langsung menghilang?"
Marsha kembali nyengir bersalah. Tapi karena pikirannya sedang fokus pada Arfin, dia jadi sering nengok ke belakang tubuh Mona, tepatnya ke arah gerbang sekolah dengan raut cemas.
"Lo kenapa sih, Sha?" tanya Mona yang bisa membaca raut Marsha yang menandakan ada yang tidak beres. "Lo juga di sini terus nungguin siapa emangnya?"
"Arfin." Marsha menjawab polos dan singkat. Mona pun memutar bola matanya mengetahui ternyata sebucin itu Marsha ke Arfin sampai-sampai kedatangan cowok itupun dia tunggu di pintu masuk gedung sekolah.
"Ya udah gue masuk dulu deh. Pokoknya lo masih hutang penjelasan ya sama gue? Sebelum itu, jangan harap gue maafin!"
"Iya, Mona... Sana gih masuk."
Setelah Mona berlalu, kali ini Marsha melihat Rian yang baru turun dari sedan yang mengantarnya. Dan di belakang Rian, ada Arfin yang datang dengan mengendarai sepeda. Jenis sepeda gunung yang dibelakangnya di pasang boncengan. Dan Awanlah yang berada di boncengan itu sekarang. Dipenuhi perasaan lega, Marsha mengembangkan senyum menyambut kedatangan Arfin.
Rian yang tidak menyadari ada Arfin yang di belakangnya, menyangka kalau senyum Marsha ditujukan padanya. Dia membalas senyum itu. Sampai akhirnya sepeda Arfin melewatinya dari belakang, meluncur menghampiri Marsha, senyum Rian hilang digantikan kilat mata ketidakrelaan. Dia memutuskan untuk cepat-cepat berlalu menuju kelas.
Awan yang melihat Marsha akhirnya mengerti. Dia turun dari boncengan Arfin lalu mengangkat tangan. "Gue duluan, Bro."
"Yo." Arfin balas mengangkat tangan. Lagian kelas mereka sudah beda sekarang, tidak perlu lah masuk gedung sekolah sama-sama.
"Pagi," sapa Marsha yang tidak bisa berhenti mengembangkan senyum. "Sepeda siapa ini?"
"Punya temen kos." Arfin turun dari sepeda dan mulai menuntun sepeda itu menuju tempat parkir, bersama Marsha di sisi lain sepedanya.
"Kok kamu yang pakai, A'?" Marsha pun memperhatikan seragam dan ransel yang dipakai Arfin, memang benar-benar milik cowok itu. "Terus itu seragam, ransel, sama buku-buku sekolah? Katanya pergi nggak bawa apa-apa?"
Mulai deh Marsha dengan kebawelannya.
"Sepedanya dipakai empunya kalau hari Minggu doang buat gowes. Terus untuk seragam, tas, sama buku-buku, semalam Pak Surya, driver mama yang bawain semua itu. Disuruh mama, tanpa sepengetahuan papa pastinya," jawab Arfin super lengkap.
"Oh...." Marsha mengangguk-angguk puas dengan jawaban Arfin.
"ARFIIIIN...."
Tiba-tiba terdengar suara melengking memanggil nama Arfin dari arah belakang. Shiba, anak perempuan yang mendapat julukan sang "anak Einstein" karena ayahnya yang seorang profesor di Universitas bergengsi di Jakarta, setengah berlari menemui Arfin. Cewek itu satu angkatan dengan Marsha dan berada di kelas IPA. Dia salah satu kandidat yang digadang-gadang tahun ini akan menggantikan Rian sebagai Ketua OSIS.
YOU ARE READING
The Prince's Escape [Season#2 END✅]
Novela JuvenilKarena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya yang bak istana dan memilih bertahan hidup di sebuah kos sepetak yang hanya berisikan kasur buluk dan lemari pakaian usang. Namun dia bisa me...