Jam istirahat pertama di sekolah, Marsha, Mona, Rara, dan Lani memutuskan untuk duduk-duduk di kursi panjang pinggir lapangan basket. Mereka baru saja dari koperasi membeli cemilan. Dan sekarang masing-masing tangan sedang memegang lolipop warna pink sambil memperhatikan pertandingan basket di tengah lapangan oleh kelas Arfin sekaligus Rian yang sedang pelajaran olahraga.
Marsha memegangi perutnya yang sedari tadi sakit seperti diremas-remas. Hari ini hari pertama dia haid dan tidak biasanya perutnya sesakit ini. Untung koperasi jual pembalut, jadi dia tidak kelabakan ketika sang merah tiba-tiba datang menyerang.
"Kok Arfin nggak kelihatan? Dia sekelas kan sama kak Rian?" tanya Mona yang matanya menyapu seluruh area lapangan dan tidak menemukan Arfin di manapun.
"Lagi di lab SAINS," jawab Marsha sekenanya sambil menahan sakit. "Eh guys, gue ke kelas duluan ya, nyeri banget sumpah."
Mona menatap muka pucat Marsha dengan prihatin. "Ayuk gue temenin di kelas."
"Gue juga deh," ucap Lani dan Rara hanya mengangguk memilih mengekor saja.
Belum juga mereka keluar dari lapangan, ada suara yang memanggil nama Marsha. Ternyata itu Rian yang setengah berlari menghampiri mereka.
"Iya, Kak?" Marsha heran karena tiba-tiba Rian memanggilnya.
"Lo anak mading, kan?"
"Iya." Marsha menjawab ragu. "Mona juga sih."
"Oh." Pandangan Rian beralih pada Mona yang mengangguk dan tersenyum manis. "Kalian mau nggak ikut panitia pelantikan Bantara? Jadi Seksi Dekorasi dan Dokumentasi."
"Pramuka itu, Kak?" tanya Marsha memastikan, sesekali meringis merasakan sensasi perutnya yang menggila.
"Iya," jawab Rian, singkat.
"Aku nggak bisa ah, Kak," Mona mengernyit tidak suka. "Aku nggak suka kemah yang ntar panas-panasan...."
Marsha tersenyum pada Rian, menyuruhnya untuk mengerti Mona.
"Kalau Marsha mau, kan? Nanti ada Mei ikut juga, buat bimbing kalian."
Marsha memikirkan tawaran itu untuk beberapa saat. Dia berpikir, toh Arfin sedang sibuk dengan persiapan Olimpiadenya, kenapa dia juga tidak ikut menyibukkan diri juga?
Marsha mengangguk. "Mau deh, Kak. Hitung-hitung menambah pengalaman."
"Bagus," ucap Rian.
"Aku gantiin Mona boleh, Kak? Aku mau juga tambah pengalaman...." Lani menawarkan diri. "Tapi aku bukan anak mading."
"Iya nggak papa," Rian mengangguk. "Kalau gitu kalian save nomorku, ya? Biar kalau ada apa-apa bisa langsung laporan."
Marsha dan Lani pun mengeluarkan smartphone masing-masing dari dalam saku untuk menyimpan nomor Rian.
***
Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Desahan lega pun memenuhi ruang kelas ketika kelas Kimia Pak Jayus yang tegang pun berakhir. Akhirnya telinga mereka berhenti berdengung. Rasa kantuk dan lapar yang menyerang bersamaan pun seketika lenyap.
Tidak seperti anak-anak lain yang sibuk membereskan meja, Arfin yang mejanya sudah bersih kini melengang pertama kali keluar kelas. Saat akan menuruni tangga, smartphone di tangannya bergetar menandakan ada pesan masuk. Arfin berhenti untuk membaca pesan itu. Wajahnya langsung sumringah. Pasalnya, itu adalah pesan dari BrainMe, perusahaan milik Pak Ares, memberitahukan bahwa dirinya diterima sebagai karyawan magang di sana. Dan harus datang hari ini juga jam 5 sore.
Saat akan memasukkan smartphone ke saku, benda itu kembali bergetar. Tapi kali ini bukan sebuah pesan, tapi nama Mamanya yang muncul menelepon.
"Iya, Ma?" Sambil menuruni tangga, Arfin menyapa mamanya.
YOU ARE READING
The Prince's Escape [Season#2 END✅]
Teen FictionKarena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya yang bak istana dan memilih bertahan hidup di sebuah kos sepetak yang hanya berisikan kasur buluk dan lemari pakaian usang. Namun dia bisa me...