Rahasia Mona

687 24 124
                                    

Selesai belajar, Marsha bersiap-siap di depan cermin lemarinya. Malam ini dia akan pergi ke kantor Arfin untuk membawakannya makanan yang dia masak sendiri. Dia juga sudah menyiapkannya di dalam kotak bekal.

Marsha mengikat rambutnya dengan rapi. Setelah mengusap bedak tipis-tipis ke muka, dia meraih sweaternya yang tergantung di balik pintu. Baru mau memakainya, smartphone di atas meja belajarnya tiba-tiba berbunyi. Marsha mengerling dan melihat nama Mona di layar.

"Iya Mon?" sapa Marsha.

"Sha... Lo di rumah kan? Gue ke rumah lo, ya?"

"Hah?" Marsha tergagap. Bingung mau jawab apa. Nggak mungkin juga dia menolaknya. Duh, kayaknya bakal batal ketemu Arfin nih, batinnya. "Kenapa Mon? Penting banget, ya?"

"Pengen main aja. Nggak bisa, ya? Lagi sibuk? Apa lagi sama Arfin?"

Marsha menggigit bibir. Roman-Romannya Mona mau main karena ingin curhat. Ya sudahlah, egonya kali ini harus mengalah.

"Enggak kok, gue di rumah. Gih main, gue tunggu," jawab Marsha akhirnya.

"Oke, thank's ya, Sha."

"Iya, Mon."

Dengan lemas, Marsha menggantungkan kembali sweaternya ke balik pintu kamar. Dia menghubungi Arfin, mengabarkan kalau dirinya batal datang. Untung Arfin mengerti saat Marsha menjelaskan kemungkinan Mona akan curhat tentang masalahnya kemarin. Kasihan. Dia juga sudah janji akan membuka pintu rumah kapanpun saat Mona butuh.

Marsha berjengit kaget saat Ayah berseru ada Mona datang. Perasaan baru lima menit Mona meneleponnya dan rumah Mona ada di ujung timur jauhnya. Usut punya usut, ternyata Mona sudah ada di depan rumahnya ketika menelepon. Mona nyengir saat mengatakannya ketika mereka sudah duduk bersila di tempat tidur Marsha. Mona memakai kacamata, jelas untuk menutupi matanya yang bengkak, karena Marsha tahu mata Mona tidak minus.

"Lo habis nangis, Mon?" tanya Marsha akhirnya.

Ditanya begitu, air mata Mona mendadak mengalir lagi tanpa bisa dia hentikan. Dia mewek, nangis sejadi-jadinya. Marsha terkejut dan langsung mengeluh punggungnya.

"Gue harus gimana, Sha? Gue takut...." ucap Mona dengan suara sesenggukan.

"Takut apa, sih?" Marsha jelas tidak paham. Dahinya terlipat.

"Gue... gue...." Mona membuka mulut berusaha mengeluarkan keberanian yang sudah dia siapkan dari rumah, tapi prakteknya susah. Harus ada seseorang yang mau mendengarkan ceritanya. Kalau tidak, dia pasti akan hancur sendirian. "Gue takut, Sha."

"Iya, Mona... takut kenapa?" Marsha melepaskan pelukannya, berusaha melihat ke manik mata Mona, memberinya sebentuk tekad.

"Gue... ngelakuin itu sama Bintang...." Air mata ketakutan mulai mengaliri pipi Mona lagi.

"Ngelakuin apa?" Marsha bertanya bego.

"Itu... Hal yang seharusnya nggak gue lakuin sama Bintang... Sebelum nikah...." Mona berbisik lirih saat mengatakan hal implisit itu.

"Serius?" Mulut Marsha menganga karena tidak percaya. Dia tidak polos-polos amat sampai tidak mengerti apa yang dimaksud Mona.

"Gue bener-bener nyesel, Sha. Kalau aja gue nggak kebawa suasana pas malam pesta ultah gue...." Mona menggigit bibir, kentara sangat menyesal.

Marsha kehilangan kata-kata. Jadi ini alasan Mona tidak berangkat sekolah? Dan alasan kenapa Mona nampak seperti orang sakit padahal sebenarnya tidak? Marsha tidak habis pikir kalau sahabat karibnya itu bisa melakukan hal diluar batas seperti itu.

"Gimana kalau gue hamil? Gue takut banget, Sha. Gue nggak mau itu terjadi! Bisa hancur hidup gue!"

Marsha menggigit bibir, ikut merasakan depresi yang dirasakan Mona kalau sampai itu terjadi. Meskipun Marsha tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan Mona, tapi sebagai sahabat dia harus tetap memberi Mona support. Tidak ada gunanya menyalahkan, toh semuanya sudah terlanjur. Marsha hanya agak kecewa mendengarnya.

"Kan belum tentu juga, Mon. Lo belum telat mens, kan?"

Mona menggeleng. "Belum. Tapi kayaknya sebentar lagi. Gue frustrasi banget mikirin ini dari kemarin. Gimana kalau gue hamil?"

"Nggak usah mikirin jauh dulu. Lo tunggu dulu sampai mens."

"Ya tapi gimana kalau gue nggak mens, Sha?"

"Ya udah ntar anak lo buat gue, gue yang urus!" jawab Marsha keki. Habis dikasih solusi kok skeptis mulu! Marsha yang bakalan gila duluan kalau kayak gini.

"Kok gitu sih, Sha?"

Marsha menghela napas. "Mon. Gue selalu support lo kok. Gue bakalan ada setiap saat lo butuh. Bakal di samping lo apapun yang terjadi. Tapi lo tahu kan, semua perbuatan pasti ada konsekuensinya? Sebelum lo melakukan itu, harusnya lo sadar apa yang harus lo hadepin nanti."

"Iya emang gue bego banget pengen senengnya aja...." Mona menggigit bibir. "Gue nyesel-senyesel-nyeselnya! Kalau gue beneran nggak hamil, sumpah gue nggak akan ngelakuin hal itu lagi."

Marsha bersyukur kata-katanya didengar dan Mona sadar dengan konsekuensinya juga berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama.

"Pokoknya lo nggak usah mikir macem-macem deh. Pikirin tuh ulangan Matematika besok. Udah belajar belom?" tanya Marsha dengan tampang serius.

Mona membelalakkan mata dan bertanya panik di sela sesenggukan nya. "Emang besok ada ulangan? Kok gue nggak tahu sih?"

Tampang Marsha yang tadinya serius berubah secepat kilat menjadi nyengir kuda. "Becanda...."

"Ihh Marsha... nggak lucu!" Mona memukul Marsha dengan guling tapi yang dipukul malah terpingkal. Mau tak mau, Mona pun ikut tertawa karena ulahnya. "Kalau beneran bisa mati gue! Pasti nilai gue jelek terus disuruh ikut pelajaran tambahan nya Bu Ana, no way!"

Marsha senang akhirnya bisa membawa Mona Happy lagi. "Ya kan biar lo juga ngerasain gimana jadi gue!"

"Ogah! Kebul-kebul ntar otak gue," tolak Mona, lalu tersenyum. "Thank's ya Sha, lo udah mau dengerin gue, support gue, dan bikin gue ketawa. Rasanya beban gue berkurang sekilo habis curhat ke elo."

"Cuman sekilo? Nggak bisa buat zakat dong!"

"Laah kan zakat setahun sekali. Kalau terkumpul setahun ntar gue bisa zakatin elo juga malah."

"Oh iya, ya...."

Mona geleng-geleng kepala takjub dengan kekonyolan Marsha yang makin menjadi. Ada saja guyonan yang bisa Marsha lontarkan untuk membuat dia dan kawan-kawannya tertawa.

"Ngomong-ngomong, Bintang gimana? Panik juga? Atau selow aja?" tanya Marsha kemudian.

Mona manyun. "Slow aja tuh. Iya gue tahu kalau udah begini pasti pihak cewek yang bakal dirugikan. Makanya dia slow aja. Ya, kan?"

"Terus lo nanya nggak kalau sampai lo hamil dia bakal gimana?"

"Iya dia ngeyakinin gue dari awal kalau bakal tanggung jawab, makanya gue mau aja ngelakuin sama dia...." Pandangan mata Mona menerawang ke jam di dinding kamar. "Tapi habis ngelakuin itu gue langsung stres. Gue mulai mikir yang nggak-nggak. Jangan-jangan dia bohong, jangan-jangan dia cuma merayu aja biar gue mau?"

"Kita berdoa aja ya, semoga yang lo takutin nggak terjadi."

"Aamiin."

"Kalau lo sampai hamil dan Bintang nggak mau tanggung jawab, gue yang akan nyekek dia dengan tangan gue sendiri. Gue janji," ucap Marsha serius.

Mendengar itu, muka Mona menjadi mewek lagi. Tapi kali ini meweknya bukan karena sedih. Mona terharu dengan support sahabatnya satu ini. Dia merentangkan tangan lalu dengan gerakan slow motion memeluk Marsha.

"Ini rahasia kita berdua ya, Sha. Jangan sampai ada yang tahu," pinta Mona selesai dia melepas pelukan di tubuh Marsha.

Marsha mengangguk lalu membuat isyarat mengunci bibirnya rapat-rapat.

The Prince's Escape [Season#2 END✅]Where stories live. Discover now