Marsha membawa Arfin ke UKS. Dia mengompres pelipis dan sudut bibir Arfin yang lebam dengan air hangat lalu mengolesinya dengan obat merah. Buku-buku tangan Arfin juga, karena ikut memar-memar. Meski Marsha melakukannya dengan hati-hati dan sepelan mungkin, Arfin tetap aja meringis kesakitan.
"Makanya jangan berantem! Sakit, kan?" seloroh Marsha, menatap mencela ke Arfin, "Terus dapat hukuman apa?"
"Orang tua disuruh datang." Jawaban Arfin membuat Marsha menghela napas.
"Emang nggak bisa diomongin baik-baik ya sama Kak Rian? Harus pakai berantem?"
"Nggak bisa." Arfin menggeleng. "Dia udah nggak waras soalnya. Nggak bisa sadar cuma dengan omongan."
Dahi Marsha terlipat. "Dia ngomong apa emang?"
Arfin menggerak-gerakkan tangannya yang terasa perih. Ini pertama kalinya dia berantem sampai kalap begitu. Sebenarnya ada sedikit penyesalan karena tadi dia tidak berhasil mengontrol emosinya. Harusnya dia tidak terhasut oleh semua omongan Rian....
"Ngacalah, lo udah kere begitu, emang Marsha masih mau sama lo? Semua cewek itu realistis, dia bisa lebih bahagia kalau sama gue!"ujar Rian setelah menepis tangan Arfin di kerah seragamnya. Saat itu Arfin memilih diam. Dia tahu omongan Rian itu hanya pancingan agar emosinya meluap. Rian ingin Arfin hancur sehancur-hancurnya, berkeping-keping, agar hatinya terpuaskan karena dendam kesumatnya bisa terbalaskan. Arfin tahu itu. Tapi ucapan Rian berikutnya, berhasil memantikkan api yang lumayan besar dalam diri Arfin.
"Dan lo masih yakin kalau di perkemahan gue sama dia nggak ngapa-ngapain? Foto sama video yang beredar itu belum apa-apa."
"Kalau nggak percaya, coba deh pikir, kenapa dia langsung mau waktu gue ajak jadi panitia?Karena lo lagi jauuuh, dia jadi bisa deket sama gue."
Saat itulah, Arfin yang biasanya berhasil membalas siapapun dengan ucapan mematikan, kini malah bogem mentahnya yang bertindak. Dia menghajar Rian tanpa ampun.
"Aaaa'... Helloow... Spada...?"
Arfin mengerjapkan mata, menatap wajah Marsha yang tetap manis meskipun dahinya terlipat dalam karena mengkhawatirkannya. Bukannya dia tidak percaya Marsha. Dia bahkan sudah tahu bahwa semua itu hanya rekaan Rian. Dia sudah menahan emosinya mati-matian sejak foto-foto Marsha dan Rian beredar. Dia tidak menyangka, anak yang Mama cari mati-matian karena ingin meminta maaf, malah menyimpan dendam sebesar itu pada mereka. Naifnya, mereka pikir minta maaf itu jalan yang paling baik. Ternyata tidak cukup. Hati seorang anak itu sudah tersakiti terlalu dalam. Tidak ada yang mampu mengangkatnya dari lubang gelap kecuali dendam yang terbalaskan. Mungkin.
Meskipun semua yang diucapkan Rian tentang apa yang terjadi di antara mereka bohong, tapi bayangan yang hanya dikarang Rian itu tetap saja berkelebat di kepala Arfin, membuat hatinya remuk. Dia jadi tidak percaya diri. Dan itu tidak boleh terjadi lagi. Dia akan mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan Marsha agar selalu di sisinya. Karena dia sanggup kehilangan segalanya, kecuali Marsha. Dan dia tahu kalau Rian tahu kelemahannya itu. Melalui Marshalah Rian akan menghancurkannya.
Tiba-tiba hp Arfin bergetar. Mata Arfin sampai menyipit saat melihat nama seseorang yang menelepon. Hermawan, papanya. Ragu-ragu Arfin mengangkatnya.
"Fin, Papa udah di sekolah kamu ini, di ruang Kepala Sekolah. Kamu Papa tunggu di sini, ya?"
Setelah itu sambungan telepon pun terputus. Arfin tidak menyangka akan ada yang datang ke sekolah mengingat mamanya sekarang sedang berada di Tokyo. Selama ini tidak pernah sedikitpun Hermawan menunjukkan kepedulian terhadap kehidupannya, namun sekarang dia datang ke sekolah langsung setelah menerima panggilan dari Kepala Sekolah. Cari muka, pikir Arfin yang perasaan yang semakin tidak keruan.
YOU ARE READING
The Prince's Escape [Season#2 END✅]
Teen FictionKarena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya yang bak istana dan memilih bertahan hidup di sebuah kos sepetak yang hanya berisikan kasur buluk dan lemari pakaian usang. Namun dia bisa me...