Hari ini jam pertama dan kedua di kelas Marsha adalah olahraga. Anak-anak yang tadinya berlari mengelilingi lapangan basket tiba-tiba berhenti saat sampai di depan jendela yang menghubungkan dengan ruang perpustakaan. Mereka melihat Arfin duduk di samping jendela itu, tengah sibuk menulis sesuatu. Tanpa aba-aba, mereka serentak menyerukan nama Arfin keras-keras, dan jadi heboh ketika cowok itu menoleh lalu melemparkan senyum meski hanya singkat. Melihat itu, Lani pun nimbrung melambaikan tangan dan ikut memanggil Arfin keras-keras. Tapi kali ini Arfin mengabaikannya. Lani jadi kesal dan ditertawakan teman-teman satu kelas.
Pak Bimo yang melihat kelakuan anak-anak didiknya menggeleng-geleng sambil menutup muka karena malu.
"Kok Arfin di perpus sih, Sha? Nggak di kelas?" tanya Mona yang bersama Marsha baru saja menyelesaikan tugas larinya. Marsha yang tidak tahu alasannya pun hanya mengangkat bahu. Tapi mau coba dia tanyakan.
"Pak, izin ke toilet sebentar." Marsha menghampiri Pak Bimo lalu meminta ijin.
Setelah Pak Bimo mengizinkan, Marsha pura-pura berlari ke arah toilet. Tapi ketika Pak Bimo sudah tidak memperhatikan, Marsha berbelok menuju perpustakaan. Senyumnya merekah begitu sampai di pintu dan melihat Arfin masih di sana, menulis dengan malas. Marsha merapikan ikat rambutnya sebelum menghampiri Arfin.
"Hai...."
Mengenali suara Marsha yang menyapanya, Arfin menghentikan aktivitas menulisnya lalu mendongak, membalas senyum manis gadisnya. "Wah, Nyonya Ishida datang."
Marsha langsung mencubit lengan Arfin, malu-malu saat disebut Nyonya Ishida. "Ih, kamu tuh!" Lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Arfin.
Arfin mengernyit, memegang lengannya yang kena cubit. Marsha bukan cuma manis sih, tapi tenaganya juga luar biasa.
"Kamu kok nggak di kelas? Lagi belajar buat Olimpiade?" tanya Marsha kemudian.
"Enggak...."
"Terus?"
"Diusir."
"Hah?" Jawaban Arfin yang diucapkan dengan enteng itu membuat Marsha sedikit gedek. Bukan karena Arfin tidak memperhatikan pelajaran. Tapi karena dia tidak mengerti lagi kenapa Arfin bisa sesantai itu saat diusir dari kelas. Sama sekali tanpa beban. Beda dengan dirinya yang harus mati-matian ikut kelas tambahan matematika.
"Bu Rima?" tebak Marsha cause as always. Dan Arfin mengangguk. Masih dengan malas, cowok itu kembali melanjutkan aksi menulisnya.
"Terus itu disuruh ngapain?" tanya Marsha lagi yang penasaran dengan apa yang ditulis Arfin.
"Disuruh nyalin buku paket ke sini." Arfin mengetukkan pulpennya ke buku yang halamannya sudah hampir penuh dengan tulisan tangan. Tapi Marsha bingung karena tidak ada buku paket apapun untuk di salin di meja itu. Satu-satunya buku ya buku tulis yang sedang Arfin coret-coret.
Oh! Seketika Marsha pun ingat bahwa Arfin bisa mengingat isi buku dalam sekali baca. Dia lalu mengangguk-angguk paham.
"Kayaknya kamu nggak suka pelajaran sejarah, ya? Kenapa?" Marsha kembali menebak. Kali ini Arfin sedikit surprise karena Marsha menyadarinya. Pelajaran ini memang pelajaran yang paling dia tidak suka.
"Karena... nggak ada gunanya kita menoleh lagi ke belakang."
Marsha mengernyit tidak setuju. "Menoleh ke belakang kan biar nggak mengulangi kesalahan yang sama? Belajar dari kejadian masa lalu?"
"Manusia itu harus melakukan kesalahan berkali-kali baru bisa sadar dan nggak akan masuk ke lubang yang sama. Lagian, kalau masa lalunya hanya bisa meninggalkan luka dan kamu harus merasakan perihnya seumur hidup, gimana?"
Kini Marsha paham bahwa Arfin sedang membahas masa lalunya.
"Ini kita lagi bahas pelajaran sejarah, kan? Kok dalem banget, sih?" gurau Marsha.
"Sha!"
Marsha maupun Arfin menoleh ke suara yang berasal dari ambang pintu perpustakaan. Rian dengan percaya dirinya menghampiri Marsha tanpa mempedulikan keberadaan Arfin di sana.
"Iya, Kak?" Marsha melemparkan senyum sopan. "Tangan Kak Rian udah sembuh?" Dia mengerling tangan Rian yang sudah lepas dari plester yang dia tempelkan kemarin.
"Iya, udah nggak papa," jawab Rian meski sayatan itu masih berbekas di tangannya. "Aku cuma mau kasih ini." Dia menyodorkan sebuah coklat batangan untuk Marsha.
"Ngapain sih, Kak? Nggak usah," tolak Marsha.
"Tolong terima, ya? Biar gue nggak ngerasa hutang budi lagi sama lo," pinta Rian. Marsha tidak enak hati dan akhirnya menerima coklat itu.
"Ya udah. Makasih, Kak," senyum Marsha.
"Gue yang makasih. Kalau nggak ada lo, gue udah habis kali."
"Kak Rian lebay, ah."
Rian mengangkat satu tangannya lalu berbalik dan pergi setelah meninggalkan senyum hangat. Senyuman yang jarang sekali Rian beri untuk seseorang, apalagi untuk cewek.
Sepeninggalan Rian, Arfin mengedikkan kepalanya meminta Marsha menjelaskan maksud Rian bahwa kekasihnya ini sudah menolong laki-laki itu. Cerita pun bergulir dari mulut Marsha. Dia menceritakan secara detail kejadian sebenarnya bagaimana dia menolong Rian. Bersama Mona tentunya.
Seusai mendengarkan, Arfin langsung mengambil coklat itu dari tangan Marsha. Tanpa seizin cewek itu, Arfin membuka lalu memakannya.
"Kok kamu makan, sih?" protes si empunya.
"Laper," jawab Arfin tanpa dosa. Dia lalu menatap mata Marsha lekat-lekat dan berkata serius. "Tanyain Mona, dia dapat coklat juga nggak?"
"Pasti dong...." Jawaban Marsha mengambang seiring otaknya yang tiba-tiba memikirkan hal serupa. Tapi Masa sih dia doang yang dikasih coklat? Mona yang punya andil menyelamatkan Rian lebih besar, lho.
"WOOOIIII SHAA...."
Marsha mencelos ketika Lani berseru padanya dari balik jendela di lapangan basket. Dia menoleh dan melihat beberapa anak cekikikan di sekitar Lani.
"DIPANGGIL PAK BIMO TUH! BUKANNYA OLAHRAGA MALAH ASIK PACARAN!!!"
"Mampus deh!" Marsha menepuk jidadnya, baru ingat kalau kelasnya masih pelajaran olahraga. "Dadah A'...."
Setelah melambaikan tangan pada Arfin, Marsha pun ngacir pergi. Arfin hanya melihatnya sambil tertawa geli sebelum memakan kembali coklatnya.
***
"Enggak," jawab Mona setelah Marsha menanyakan apakah dia mendapat coklat dari Rian. Sekarang mereka sudah di kelas dan akan menerima pelajaran selanjutnya setelah pelajaran olahraga berakhir.
Tadi saat pelajaran olahraga, Marsha pikir Rian belum memberikan pada Mona karena Mona masih di lapangan. Dan kini setelah olahraga berakhir, Mona belum juga dapat coklat. Apa Rian menunggu saat istirahat tiba? Kenapa juga Rian tidak sekalian nitip untuk Mona padanya saja, ya? Ah, tapi dia juga tidak mau kegeeran dulu sih, menyangka Rian hanya ingin mendekatinya. Karena harusnya Rian juga tahu bahwa dirinya sudah bersama Arfin.
Marsha menggelengkan kepalanya agar pikiran-pikiran aneh segera lenyap.
"Emang kenapa, sih?" Mona bertanya balik karena merasa aneh dengan pertanyaan itu.
"Nggak papa." Marsha memilih tidak memberi tahu Mona. Nggak penting juga untuk Mona tahu. Tatapan curiga Mona berubah ketika dia ingat ada suatu hal yang harus dia tanyakan pada sahabatnya itu.
"Kira-kira Arfin mau nggak ya diajak double date?"
"Hah?" Marsha terkejut mendengar permintaan Mona yang tiba-tiba itu.
"Pleasee.... Gue pengen ngerayain anniversary bareng kalian...."
Marsha menimbang-nimbangnya sesaat. "Gue sih mau-mau aja. Coba nanti gue tanya Arfin."
Bibir Mona terkembang lebar lalu dia mengangkat jempolnya.
YOU ARE READING
The Prince's Escape [Season#2 END✅]
Teen FictionKarena konflik keluarga, Arfin Ishida Dirgantara yang baru tujuh belas tahun itu, rela keluar dari rumahnya yang bak istana dan memilih bertahan hidup di sebuah kos sepetak yang hanya berisikan kasur buluk dan lemari pakaian usang. Namun dia bisa me...