#Chapter 04; Healing 1

346 21 1
                                    

"Jadi, kenapa suruh aku pulang cepet?" tanya Hyunjin malas. Kalau sudah berhubungan dengan pembicaraan serius dengan kedua orang tuanya, ujung-ujungnya pasti tidak enak dipihaknya.

Kaki jenjangnya mengetuk dengan irama, alih-alih gelisah dalam duduk. Wajahnya datar nan angkuh meski dihadapkan dengan kedua orang tuanya. Dia ingin segera pergi dari hadapan dua orang ini. Kalau bisa, tanpa mendengar apapun.

"Berapa usiamu sekarang?" tanya sang Papa.

Hyunjin berdecak. Usia anak tunggalnya saja pakai ditanya. Hyunjin berani bertaruh, orang tua satu itu bahkan tidak ingat kapan dia menikah dengan istrinya. "Dua puluh tahun," jawab Hyunjin singkat.

"Dan apa yang sudah kamu capai selama ini, Hyunjin?" tanyanya lagi.

Kali ini Hyunjin diam. Menatap lurus kelereng hitam yang sama dengannya. Tidak bisa atau tidak mau menjawab. "Itu berarti buat kalian?" Malah itu yang terlontar.

"Tentu saja. Kenapa tidak?" jawab sang lelaki paruh baya.

"Sebelum aku jawab, apa Papa hapal kapan tanggal jadian Papa sama Mama?" tanya Hyunjin keluar topik.

Pria di depannya mengernyit. "Kenapa kamu tanyain itu?"

"Gak inget, 'kan? Jadi gak usah tanya-tanya apa pencapaianku selama dua puluh tahun aku hidup. Itu gak berarti apa-apa buat kalian," ujar Hyunjin tanpa dosa.

"Hyunjin," kali ini istrinya memanggil lembut, "kami tahu apa aja yang kamu lakuin di luar sana. Kami tahu kamu suka seenaknya dan gak mau terikat apapun dengan siapapun. Tapi, nak, kami tetap mau yang terbaik buat masa depanmu. Hidupmu masih panjang, sayang."

"Jadi, apa mau kalian? Gak usah basa-basi, jadwal rebahanku padat banget," timpal Hyunjin terburu.

"Menikahlah dengan calon pilihan kami," jawab Mamanya.

Hyunjin tertegun. "Maksudnya, aku dijodohin?"

"Iya, sayang." Mamanya mengangguk semangat. Senyum lembutnya terukir lebar di wajah.

"Aku anak kalian. Tumbuh-berkembang di bawah pengawasan kalian. Tapi kalian selalu memutuskan yang terbalik dari keiinginanku. Coba jawab, aku ini anak siapa sebenernya?!" protes Hyunjin frustrasi. Ini sudah kesekian kalinya haluan dia dan kedua orang tuanya berbeda seratus delapan puluh derajat dan dia sudah lelah memberontak untuk menolak.

"Kamu itu belum dewasa, Hyun. Meski usiamu dua puluh, tingkahmu masih kekanakan. Gimana bisa Papa percaya dan biarin kamu hidup seenaknya sendiri? Mau jadi apa kamu nanti?" omel Papanya serius.

Hyunjin mendengkus. "Itulah, kalian gak tahu," bisik Hyunjin pelan. "Pokoknya aku gak mau dijodoh-jodohin."

"Pokoknya Papa tetap mau jodohin kamu! Calonmu bakal datang besok malam, jadi persiapkan dirimu," ucap Papanya mutlak.

Hyunjin emosi. Memilih meninggalkan ruang tengah rumahnya dan beranjak ke lantai dua di mana kamarnya berada. Sesampainya di kamar, dia memeluk bantalnya erat, membaringkan tubuh lelahnya di tempat tidur empuk. Mata kucingnya menatap langit-langit.

"Dunia makin gila aja," komentar Hyunjin tidak berarti. Lalu jatuh tertidur pada detik ke sepuluh.

Beberapa jam kemudian, Hyunjin terbangun. Mendudukkan dirinya di atas tempat tidur dan menatap sekitar yang gelap gulita. Dia lupa menyalakan lampu tadi sore. Namun, bukannya beranjak, Hyunjin malah menunduk dan merenung. Apa lagi yang harus dia lakukan untuk memberontak dari permintaan orang tuanya dan menghindar dari perjodohan itu?

Hyunjin menoleh ke arah lemari besarnya. Detik ketiga, dia mengangguk mantap. Pergi saja dari sini. Dia kan cukup mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Sesuatu yang orang lain tidak tahu. Satupun tidak ada, kecuali dia dan Tuhan.

How to EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang