Hyunjin duduk di tepi tempat tidur ketika mahkota pirang itu menjulur dari celah pintu. "Chris!" sapa Hyunjin senang.
"Hm? Ada apa? Kenapa senang?" tanya Chris setelah sepenuhnya masuk ke kamar Hyunjin.
"Lho? Emangnya gak boleh?"
"Boleh. Cuma heran aja. Biasanya juga merengut karena gak bisa keluar dari sini." Dijawilnya hidung mancung Hyunjin pelan.
"Itu dia! Temani aku keluar, ya?" pinta Hyunjin. Kembali lagi wajah itu, kucing minta dipungut. Pupilnya membesar dan mengedip lambat. Kepala miring ke kanan menambah kadar lucu. Chris kuat, kok.
Namun, yang membuat tanggapan Chris berbeda adalah dari kalimat yang dilontar Si Manis. Minta ditemani keluar, bukan keluar seorang diri. "Ke mana?"
"Apartemenku. Karena aku gak bisa keluar dari sini, kupikir aku butuh barang-barangku."
"Saya beliin yang baru aja."
"Gak mau!" sambar Hyunjin cepat. Wajahnya digurat serius di depan Chris. "Bukan masalah barangnya, Chris. Tapi data di dalamnya! Ada sesuatu yang penting yang gak selesai cuma dengan dibeli. Dasar orang kaya!" sungut Hyunjin diakhir.
Chris tertawa. "Kamu juga anak orang kaya, Sweet." Diusapnya pucuk mahkota legam di depannya dengan gemas. "Ya udah, ayo."
Hyunjin berjingkat senang. Tubuhnya melompat girang sambil berjalan ke walk in closet untuk mengganti pakaian. Kurang dari lima menit, dia sudah siap dengan kemeja putih agak transparan, celana jins, dan sepatu kets hitam.
Kali ini, ketika tangannya digandeng Chris keluar kamar, baru dia sadari interior dan tata letak rumah megah Chris yang apik. Mulutnya sempat bergumam takjub bahkan waktu kaki jenjangnya meniti anak tangga ke lantai terbawah.
Semangat membuncah di dada kala dirinya sudah berada di dalam mobil, bersebelahan dengan Chris yang menyetir, dan pemandangan hutan pinus sisi kota kembali menyapa matanya. Senyumnya mengembang cerah tanpa bisa ditutupi.
Empat puluh lima menit perjalanan. Hari mulai gelap kala keduanya sampai di lantai sepuluh, unit apartemen nomor seratus tujuh. Pintunya tertutup rapat, terkunci otomatis. Hyunjin memasukkan password-nya dan masuk ke dalam seperti biasa. Chris ikut mengekor di belakangnya. Sementara Chris melihat keadaan yang sama dengan terakhir kali dia kemari—yah, meja kaca Hyunjin pecah berkeping dan belum dibereskan—Hyunjin berlalu ke kamar untuk mengemasi barang-barang pentingnya. Setidaknya itu yang didengar Chris di rungunya.
Rencananya dimulai. Hyunjin memasukkan laptop, iPad dan ponsel beserta charger-nya, sebuah flashdisk, dan dompet ke dalam tas ransel setelah mengunci pintu kamarnya pelan, berusaha supaya tidak ketahuan. Kemudian menggeser pintu balkonnya dan melihat seberapa tinggi lantai apartemen tempatnya tinggal.
"Ini cuma lantai sepuluh," monolognya memberi sugesti. Seolah bumi yang jauh di bawah sana seketika bisa mendekat jadi satu meter saja dari pembatas balkonnya.
Ah, Hyunjin tidak punya banyak waktu berkhayal. Dibenarkannya letak tas ransel di punggung. Kaki jenjangnya melangkah memanjat pagar besi dan melewatinya. Bersiap menjatuhkan dirinya ke bawah. Hyunjin turun perlahan hingga tubuhnya bergelantung di lantai balkon. Keringatnya mulai muncul karena adrenalin yang terpacu sebab angin berembus kencang di ketinggian ini.
Namun, dia berhasil melompat ke balkon di bawahnya dengan selamat. Ini memang sudah malam. Pasti pemandangan sudah agak remang jauh di jalanan sana. Ditambah, sekalipun unit-unit apartemen yang balkonnya disinggahi Hyunjin berpenghuni, mereka pasti tidak akan terlalu sadar karena Hyunjin bergerak cepat dan berusaha sehalus mungkin. Keuntungan lainnya, tidak akan ada CCTV di sini.
"HWANG HYUNJIN!" Hyunjin sudah berhasil turun empat lantai ketika seruan melengking membuatnya mendongak sejenak dengan senyum miring terukir. Kembali menuruni lantai apartemen dengan cara ekstrem secepat yang dia bisa sebelum Si Pirang menyusulnya ke bawah lebih dulu.
"Astaga, Tuhan," sebutnya lega setelah menjejak tanah kembali. Kemudian bergegas memutar arah ke bagian belakang apartemen dan menyusuri jalanan sempit di sisi gedung-gedung tinggi kota. Tidak peduli segelap apa, Hyunjin cukup bersyukur sekarang tidak hujan yang bisa saja memperparah keadaan. Lebih bersyukur lagi dia cuma bertemu tikus gorong-gorong sebesar kucing, bukan 'kucing sakit' yang suka nongkrong di balik bayangan tiap malam.
Hyunjin berhasil menemukan jalan ke jalanan raya besar lagi. Lalu-lalang mobil masih memadati jalan di depannya. Dengan terengah, dia menghela napas lega. Dia berhasil kabur. Baiklah, waktunya cari minimarket untuk melepas dahaga. Kali ini dia tidak akan tergoda oleh siapapun yang mengajaknya.
Salah satu minimarket dua puluh empat jam jadi tujuannya. Hyunjin masuk dan mencari dua kaleng soju dan sepotong onigiri. Membayarnya di kasir dan duduk di satu set meja dan kursi yang tersedia di dalam sana. Melahap makan malam sederhananya yang jadi peringatan kebebasannya lagi.
Senyum lebarnya tidak bisa lepas terukir di wajah. Membuatnya manis dan tampan di saat bersamaan. Habis ini dia akan cari apartemen lagi yang jauh dari sini. Dalam lima belas menit, Hyunjin selesai. Membuang sampahnya dan bergegas keluar. Menghentikan salah satu taksi dan memintanya melaju keluar dari ibu kota.
Oh, begini rasanya jadi buronan? Kekeh Hyunjin dalam hati. Untung Chris tadi tidak membawa bodyguard-nya. Jadi tidak terlalu banyak tantangan yang harus dia hadapi tadi.
***
Chris selalu curiga kalau Hyunjin terlalu asyik di salah satu ruangan lebih dari lima menit. Menit kesepuluh, Chris mencoba menyusul si manis ke kamarnya. Namun, pupilnya membesar dan jantungnya berdegup kencang kala kenop pintu itu tidak bisa diputar, menolak terbuka.
"Sial, Hwang Hyunjin!" Tidak ada sahutan. Chris memaksa pintu putih itu terbuka dengan cara didobrak. Untung badannya cukup kekar untuk merusak engsel pintunya sampai lepas. Astaga, sudah meja kaca hancur, sekarang ini lagi.
Iris birunya menatap nyalang sekitar kamar yang berantakan. Tipikal manusia seenaknya semacam Hyunjin. Salah satu lemari kayu isinya sudah kosong. Melipir ke sisi lain, pintu balkon terbuka. Chris berlari ke arah sana dan menunduk. Oh, lihatlah. Si bajingan kecil itu level nekatnya sudah taraf mengkhawatirkan nyawa. Ini lantai sepuluh, lho!
"HWANG HYUNJIN!" serunya nyaring. Yang malah cuma dapat senyum miring tengil dari empat lantai di bawahnya.
Chris mendengkus. Segera pergi dari sana dan menyusul si manis. Chris tidak punya waktu menunggu lift, jadi dia menurunin tangga darurat secepat yang dia bisa. Begitu sampai di bawah, dia memutari gedung di mana Hyunjin mendarat. Namun, anak itu sudah nihil. Ditelusurinya jalan berlawanan. Kalau dia jadi Hyunjin, pasti akan cari jalan keluar sendiri. Sampai di belakang gedung, dia susuri sebentar jalanan sempit yang menjijikan dan gelap. Memang Hyunjin benar ke sini?
Chris mundur karena hari semakin gelap, akan semakin berbahaya berada di tempat seperti ini. Merogoh saku celana bahannya, dia menarik ponsel. Menghubungi salah satu asisten kepercayaannya dengan langkah terburu menuju mobil yang terparkir.
"Ayen, cari Hwang Hyunjin! Sekarang!" perintahnya pada sosok diseberang yang langsung diamini secepatnya.
Sementara dirinya lekas mengeluarkan mobil dari area gedung apartemen juga untuk menyusuri jalanan di sana. Kali saja dia menemukan kucing nakalnya yang berhenti mendomestikkan diri itu. Hyunjin pasti belum jauh.
"Enough, Hyunjin. Ini sudah ketiga kalinya kamu kabur dariku."
TBC
.
.
.
.
.
.
.—by devilbrush.
Don't forget to vomment, 여러분~!

KAMU SEDANG MEMBACA
How to Escape
FanfictionBebas adalah hak seluruh makhluk hidup. Bebas itu pilihan. Bebas itu prinsip. Maka jika tidak bisa bebas, melarikan diri adalah cara pertama. Biar kuberitahu caranya di sini.