#Chapter 10; Come Back Home 2

201 20 1
                                    

Entah kenapa, Chris agak gugup. Kemeja hitam terbaiknya dia kenakan layaknya orang berkabung. Untung poin plus di wajahnya mengenyahkan pemikiran negatif itu.

Keluarganya sampai di kediaman lelaki manis yang akan ditemuinya malam ini. Senyumnya terukir di wajah sampai lesung pipi turunan Daddy-nya terlihat. Disambut hangat dengan baik, disuguhi minuman dan kudapan saja karena ini sudah lewat waktunya makan malam. Perbincangan kecil terbangun antara kedua pasang orang tua yang kenal lewat jalur bisnis itu.

"Ah, di mana anakmu yang manis itu? Saya ingin melihatnya secara langsung," ujar Mommy-nya dengan nada bergurau pada wanita seumurannya.

Tiba-tiba senyum kecut terbit dari kedua pasangan pemilik rumah. Mereka saling berpandangan sebelum menatap Keluarga Bang gugup.

"Anak kami, kabur dari rumah kemarin malam," cerita sang istri, "setelah kami memberitahu soal perjodohan ini, kami menguncinya di kamar supaya dia gak ke mana-mana karena anak kami emang gak sebaik itu. Tahunya dia kabur lewat balkon."

"Kami gak tahu dia di mana sekarang. Dia membawa beberapa bajunya, laptop, dan dompet saja. Ponselnya ditinggalkan hingga polisi gak bisa melacaknya," jelas suaminya.

Harapan Chris rasanya seperti tersambar petir. Pupus sudah ekspektasinya hanya untuk melihat Si Manis malam ini. Dia kecewa berat, tapi tidak bisa marah pada siapapun. Meski semua umpatan beserta seluruh isi kebun binatang sudah dia lontar dalam hati.

***

Hari kedua Hyunjin kabur. Baru bangun tidur, Chris sudah memutuskan menghubungi Jeongin. "Gimana?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. Setengah terpejam, Chris berjalan ke kamar mandi. Dia masih harus ke kantor pagi ini.

"Saya lagi menuju Incheon, Tuan. Petunjuk terakhir dari CCTV jalanan Seoul, Tuan Hyunjin naik taksi ke tol arah Incheon," jawab Jeongin.

Mata sipit Chris terbuka lebar. "Apa? Sampai sejauh itu?"

"Iya, Tuan."

"Nekat banget bajingan kecil itu. Tangkap dia hidup-hidup, Ayen," titah Chris tegas.

"Baik, Tuan Chris." Setelah panggilan terputus, Jeongin mendapat panggilan dari pacarnya. Segera saja dia angkat tanpa menunda lama. "Ya, Seungie?"

"Kamu di mana? Gak pulang?" tanya Seungmin dingin. Namun, kentara khawatir. Jeongin sudah hapal bagaimana lelaki manis itu tsundere level dewa.

"Gak. Lagi mau ke Incheon."

"Hah? Ngapain?! Jauh amat," komentar Seungmin kaget. Suara serak khas bangun tidurnya barusan menghilang karena lonjakan nada tinggi.

"Nyari bajingan kecilnya Tuan Chris," jawab Jeongin polos. Mata rubahnya yang agak memerah karena kurang tidur itu masih menatap jalanan tol di depannya yang lengang. Ini masih pukul tujuh pagi.

"Kamu gak istirahat, Ayen?" tanya Seungmin yang nadanya lebih mirip seperti tuduhan.

"Enggak," jawab Jeongin jujur. Mana bisa dia berbohong pada kesayangannya sekalipun mereka berjauhan begini. Ketahuan bohong, Seungmin pasti galak padanya. Dia tidak siap diabaikan setelah dua hari ini tidak bertemu dengan Seungmin.

"Kenapa?" tanya Seungmin menahan emosi setelah menghela napasnya dalam di seberang sana.

"Karena tugas," jawab Jeongin singkat.

"Terus sekarang kamu lagi apa?"

"Nyetir."

"Astaga, Ayen. Awas aja kalau balik tinggal nama, kubongkar makammu nanti!" ancam Seungmin cemas.

Jeongin terkekeh pelan. "Bisa temenin sebentar sampai kamu berangkat kerja?"

Seungmin bergumam mengiyakan. Seenggaknya dia bisa temani Si Rubah bicara agar tidak terkantuk di jalan.

Sekitar pukul sembilan pagi, Jeongin baru sampai ke tempat tujuannya. Dia sampai di Incheon sejam sebelumnya dan masih harus memeriksa CCTV jalanan Kota Incheon dari tol Seoul di kantor polisi kota. Memastikan ke mana perginya taksi yang ditumpangi Hyunjin dan menuntunnya ke sini. Sebuah apartemen mewah dan tertinggi di Incheon. Setengah takjub sebenarnya, meski sudah tidak heran dari mana Hyunjin dapat uang untuk menyewa salah satu unit apartemen di sini dalam waktu singkat.

Sebelum menghadap resepsionis, Jeongin sempatkan diri cuci muka di toilet umum lobi apartemen. Lalu menyapa resepsionis cantik yang tersenyum ramah padanya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanyanya lemah-lembut sebagaimana etika kerjanya.

"Saya mau tanya unit apartemen Hwang Hyunjin," jawab Jeongin to the point, "saya temannya. Mau berkunjung. Tapi Hyunjin gak balas pesan saya lagi sejak sejam yang lalu. Saya jadi khawatir dia kenapa-napa," lanjut Jeongin dengan raut muka agak cemas kemudian.

"Ah, baik. Sebentar." Resepsionis itu memeriksa data pemilik apartemen terbaru lalu mengangguk ketika menemukan yang dicari. "Unit apartemen Tuan Hwang Hyunjin di lantai tiga, nomor tiga belas, Tuan."

"Terima kasih." Jeongin melempar senyum simpulnya. Tidak peduli jika si resepsionis cantik memekik dalam hati karena itu. Langkahnya dibawa menuju lift dan menekan tombol berangka tiga. Ini belum pukul sepuluh. Biasanya Hyunjin bangun pukul sepuluh pagi.

Pintunya tidak terlalu jauh dari lift. Jeongin segera menekan bel apartemen itu sekali. Sengaja menjauhkan diri dari jangkauan interkom. Tidak ada jawaban. Jeongin tekan sekali lagi belnya. Masih belum. Kali ini dengan rusuh, Jeongin menekannya berulang. Hingga pintu nomor tiga belas itu terbuka menampakkan wajah bantal Hyunjin yang menguap malas.

Belum sadar siapa yang bertamu, Jeongin segera masuk karena kebetulan pintunya terbuka cukup lebar. Segera saja Jeongin mengeluarkan suntikan bius yang dia sembunyikan dibalik lengan kemejanya sejak dari toilet. Membuka penutup jarumnya dan mendekap erat tubuh ramping itu selagi dia menyuntikan isi cairannya ke leher Hyunjin.

Si Manis terhuyung lemas. "Akh! A-yen?"

"Tidur aja lagi, Tuan Hyunjin. Biar saya bawa Anda pulang," bisik Jeongin dan mengamankan semua bekas suntikannya ke saku jas.

"Eng ... gak—" Setelahnya Hyunjin benar-benar tidak sadarkan diri.

Sigap, Jeongin menggendongnya di depan ala pengantin keluar dari unit apartemen itu dengan tergesa. Pintunya otomatis tertutup dan terkunci kemudian. Melewatkan lift, Jeongin menuruni tangga darurat dengan terburu. Untung cuma tiga lantai. Sesampainya dilobi, kakinya masih harus dipakai berpacu menuju parkiran ke arah mobilnya. Suasana lobi sudah agak ramai. Banyak orang yang melihat dan resepsionis yang mematung di tempat dengan mata membulat.

Setelah membaringkan Hyunjin dengan cukup nyaman di kursi sebelah pengemudi. Jeongin segera tancap gas kembali ke Seoul. Dahinya yang basah oleh keringat disekanya dengan punggung tangan. "Capek juga berpura-pura."

Jeongin tentu saja tidak melupakan keberadaan CCTV di tiap lorong. Cuma ini caranya agak dia bisa membawa pergi Hyunjin tanpa dicurigai. Apalagi setelah percakapannya dengan resepsionis tadi. Pasti dia berpikir memang ada yang tidak beres dengan Hyunjin setelah tidak bisa dihubungi beberapa waktu sebelumnya. Bersyukur temannya datang. Ternyata Hyunjin sudah tidak sadarkan diri di apartemen entah karena apa dan menyangka temannya itu akan membawa Hyunjin ke rumah sakit.

Ponsel kembali diraih. Senyum lebar terukir di wajahnya. "Selamat pagi, Tuan Chris," sapanya setelah sambungannya diangkat, "saya dalam perjalanan kembali ke Seoul. Tuan Hyunjin aman bersama saya." Diliriknya Si Manis yang tertidur karena pengaruh obat itu. Masih hanya memakai kaus lengan panjang putih agak tipis dan celana pendek di atas lutut. Fresh from the oven.

Setelah sambungan terputus dengan decak pujian dari Chris, Jeongin memasukkan lagi ponselnya ke saku. "Setelah ini aku butuh hibernasi beberapa hari. Kurasa."

TBC

.
.
.
.
.
.
.

—by devilbrush.

Don't forget to vomment, 여러분~!

How to EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang