Seumur hidup, Hyunjin baru sekali mencabut sahamnya dari sebuah perusahaan, dan itu adalah perusahaan keluarga lintas negara milik Jepang. Perusahaan itu tahun lalu mengalami kolaps karena produk terbaru mereka di salah satu pangsa pasar kalah saing dengan perusahaan lain. Penjualan mereka menurun, sedangkan biaya produksi amat melambung, membuat para investor saham ragu tetap menanamkan saham mereka di sana. Hyunjin adalah salah satu pemegang saham yang mencabut sahamnya cepat-cepat dan beralih ke perusahaan lain. Setahunya, perusahaan itu hampir bangkrut di akhir tahun. Namun, karena suntikan dana yang besar dari perusahaan saudara, mereka berhasil bangkit dan bersaing lagi di bisnis internasional. Hyunjin juga memegang lima persen saham di sana tahun ini.
"Tadinya. Sekarang kamu buat hidup saya menderita! Perusahaan meminta tanggungjawab saya karena pemegang saham terbesar mereka lari karena gak memalsukan keadaan keuangan perusahaan pada pihak eksternal!" teriaknya kalut. "Tahu apa lagi yang dirugikan selain saya kehilangan pekerjaan saya?"
Hyunjin mengerjap di tempat. Mendengar dengan seksama salah satu dampak dari pesatnya ekonomi di tangan para pebisnis berdarah dingin. Salah satu alasan kenapa Hyunjin enggan mengemban tanggungjawab dari warisan ayahnya dan bertindak seenaknya agar dipandang tidak layak memimpin.
"Pekerjaan sulit didapatkan zaman sekarang ini. Saya bekerja serabutan demi menghidupi keluarga. Saya kehilangan segalanya karena tekanan perusahaan. Terlebih lagi, anak saya harus meregang nyawa karena saya tidak bisa membiayai pengobatannya. Kami tidak lagi bisa makan makanan yang layak. Anak saya satu-satunya ... dia ... harus menanggung semuanya!" serunya frustrasi.
"Apa dengan yang saya punya sekarang, bisa membangunkan anakmu dari kematian?" celetuk Hyunjin lemah. Matanya berkaca menatap yang lebih tua. Sedikitnya dia juga merasa bersalah. Dia bisa bergelimang harta, tapi di sisi lain yang begitu tipis jaraknya, ada yang benar-benar melarat sengsara sampai yang dimiliki hanya sebuah nyawa.
Lamunan Hyunjin buyar kala tendangan pada bagian dada membuatnya kembali tergeletak di lantai dengan erangan keras kentara. Bahkan sejenak napasnya tercekat karena paru-parunya seakan tertusuk. Hyunjin terbatuk keras hingga memuntahkan sedikit darah dari mulutnya. Namun, tidak dia hiraukan. Disekanya darah di ujung bibir asal, lalu kembali mendudukkan diri sebisanya.
"Jangan mengada-ada! Memangnya nyawa anak saya sepadan dengan uang hasil permainan kalian?!" bentaknya emosi. Matanya melebar penuh amarah sampai wajahnya memerah.
"Itu dia," ujar Hyunjin tenang, "lalu untuk apa sahamku? Dengan kamu yang seperti ini sekarang, saham itu akan habis dalam sekejap mata tanpa terasa. Apa kamu sadar yang kamu lakukan ini sia-sia?"
"S-Saya tidak punya pilihan." Nadanya mendadak bergetar. Hyunjin terhenyak mendengar itu. Kalimat yang akhir-akhir ini sering dia gumamkan dalam hati karena terkurung bak Rapunzel itu bagai tidak sepadan sekarang dengan keadaan orang di depannya. "Ekonomi saya belum juga membaik dan istri saya mulai sakit-sakitan. Sakit hati saya karena ditinggal anak semata wayang juga belum sembuh. Saya hanya terpikir untuk membuat kamu tertekan dan memberikan apa yang saya mau, Hwang Hyunjin. Saya yakin hidup saya akan lebih baik setelahnya."
"Setelah membantai dan merampok dariku?" celetuk Hyunjin. Dihadiahi sebilah pisau lipat di dekat lehernya kini. Terasa dingin dan tajam di tepi kulit putih susunya.
"Ya," jawabnya singkat tanpa ragu.
Detik berikutnya sebuah kaki melayang ke leher Si Pria Tua hingga terpelanting menabrak tembok di samping. Pisau lipatnya melayang jauh dari jangkauan karena terlepas dari genggaman tangan. Kali ini gantian, bukan Hyunjin yang mengerang. Si Manis malah tercekat sendiri melihat itu. Apa dia akan diculik lagi oleh oknum lain?
"Urus dia, Ayen!" titah sebuah suara yang familier. "Hwang Hyunjin," panggilnya lembut. Berjongkok di depan Hyunjin yang kini mengukir senyum tipis yang lemah.
"Hai, Chris," sapanya dengan kekeh tercekat karena dadanya sakit.
"Jangan bicara dulu. Kita ke rumah sakit," ujarnya pelan.
"You got me again," gumam Hyunjin sambil mengalungkan tangannya di leher Chris ketika Si Mahkota Pirang berusaha menggendongnya. Hyunjin membenamkan wajahnya di dada bidang Chris. Menghirup aroma yang dia hapal dan mendadak hatinya merasa tenang. "Sorry for running away from you. I give up." Sempat meringis pelan karena Chris membawanya dengan terburu. Badannya sakit sana-sini dan amat sensitif ketika digerakkan. Berakhir kelereng hitam itu kembali bersembunyi di balik kelopaknya.
***
Hyunjin dia dapatkan kembali. Sang penculik sedang diurus Jeongin. Seluruh keluarga sudah dihubungi perihal kabar buruk ini. Menyisakan Chris yang gelisah dalam duduknya ditemani Seungmin dan Changbin yang baru datang menyusul.
"Tenang, Chan." Seungmin menepuk pelan bahu kawannya. Meski wajahnya juga sama khawatirnya. Belum pernah dia lihat Chris seperti ini sebelumnya, "Hwang Hyunjin pasti kuat, kok. Kupikir dia punya sembilan nyawa."
"Pacarku di dalam sana juga sedang berjuang menyelamatkan Hyunjin. Jadi berdoalah dengan benar," ucap Changbin agak datar. Lalu jadi terdiam karena Chris menatapnya tajam dengan iris biru yang berkaca.
Lima belas menit kemudian dua keluarga datang ke unit gawat darurat. Mereka mulai menanyai keadaan Hyunjin, sedangkan Chris menolak buka suara saat ini. Jadi, Changbin yang coba jelaskan meski versi punyanya hanya separuh. Sementara Chris tengah merutuk dalam hati karena terlambat menemukan Si Manis. Hyunjin sudah tidak beraturan dan amat pasrah tanpa perlawanan begitu Chris menggendongnya. Mendadak Chris takut. Bagaimana jika Hyunjin kabur lebih jauh lagi, ke tempat di mana Chris tidak bisa menggapainya sekalipun dia tahu ke mana larinya Si Manis?
***
Hari kemarin sudah berlalu. Chris masih setia di sana. Menggenggam tangan lentik bebas infus milik Hyunjin tanpa beranjak seinchi pun. Dia mau memastikan sendiri kesadaran Hyunjin. Dia rindu bagaimana netra berbulu mata lentik itu terbuka dengan pelan, amat indah di depan matanya. Menampakkan kelereng hitam pekatnya yang jarang dimiliki orang lain.
Meski tidak ayal, dia juga meringis dengan perban di leher dan empat pergelangan Hyunjin, juga bebatan di dadanya. Luka di sudut bibir yang bahkan sekarang tertutup masker oksigen. Tanpa sadar, Chris meremas lembut tangan dalam genggamannya.
"Harusnya aku gak biarin kamu tidur kemarin malam, Hyunjin," gumamnya menyesal, "you're a sleepy head that so hard to wake you up. Harusnya aku menepuk pipimu dan mengajakmu bicara sampai kamu tidur karena pengaruh obat, bukan karena merasa kesakitan." Iris biru Chris kembali berembun, menggenang air di pelupuk. "Please, wake up," lirihnya putus asa. Tercekat isak karena emosi bergulung di dada.
Bahkan sampai air mata Chris mengering, kelopak itu masih enggan terbuka. Hyunjin masih bersuka cita kabur dari kenyataan melalui mimpi panjang hingga vonis dari Felix keluar, "Kalau pasien tidak bangun juga sampai besok, saya harap kamu bersiap dengan kemungkinan paling buruk, Chan."
Wajah Chris kembali merengut dan menggeleng pelan. "I'm not ready, Felix," can I lend my life to him? Lanjut Chris dalam hati.
TBC
.
.
.
.
.
.
.—by devilbrush.
Don't forget to vomment, 여러분~!
KAMU SEDANG MEMBACA
How to Escape
FanfictionBebas adalah hak seluruh makhluk hidup. Bebas itu pilihan. Bebas itu prinsip. Maka jika tidak bisa bebas, melarikan diri adalah cara pertama. Biar kuberitahu caranya di sini.