4

167 18 2
                                    

"Bayangmu pun meninggalkanku."

_Saka A_






Happy reading

🤝🤝🤝





Lama sudah sejak mata itu tak meluruhkan bulir bening dan bibir tipisnya tak menampakkan segaris senyum tulus, sudah lama ia mengabaikan sesak yang menyiksa sejak terakhir kali meneriakkan kepedihan di atas pusara basah dan di bawah gerimis, seorang diri.

Tidak ada yang peduli, tak ada yang merangkul, dan tak ada tangan terulur tuk membantu ia sekadar berdiri menjaga keseimbangan. Di saat dunianya di jungkir balikkan lewat kabar duka yang sampai saat ini sesaknya masih terasa.

Besok, tepat empat tahun ia di tinggal oleh seseorang yang ia panggil Ayah. Dia sudah kehilangan peranan ibu sejak kecil lalu di tambah berpulangnya sosok Ayah, benar-benar merubah banyak hal.

"Jaga dirimu baik-baik Saka, jangan mudah mempercayai orang lain sekalipun mereka orang-orang terdekat kita. Tumbuhlah... menjadi anak yang kuat, yang mampu berdiri sendiri. Seperti apa yang Ayah harapan."

"Saka, jikalau Ayah tidak lagi ada maka disitulah kamu tak boleh ketergantungan pada orang lain."

Pemuda berkaus hitam polos itu duduk di ruang tengah apartemen seorang diri, terselip lintingan tembakau yang menyala diantara ruas jari tengah dan telunjuk. Dia tersenyum tiap kali mengingat kalimat-kalimat terakhir pria yang sudah tiada itu, bukan senyum mencerminkan kesenangan melainkan senyum penyesalan karena sampai saat ini tak ada harapan sang ayah yang dia wujudkan.

Seperti menjadi peringkat juara di sekolah, menjadi anak yang taat aturan, ataupun menjadi hebat seperti ayahnya. Tak satupun Saka mampu lakukan karena dia kini terjerat di jalur yang berbeda.

Dia memang bukan lagi Saka yang menunduk takut saat dicemooh tapi dia adalah cowok nakal, egois, dan pemaksa. Dia ingin mendapatkan segalanya sekalipun harus dengan cara kasar dan ancaman.

"Cari ibumu Saka, datangi dia katakan bahwa kamu anaknya dia pasti akan menerimamu. Kamu bisa tinggal bersamanya demi dirimu sendiri."

Saka menekan ujung rokok yang menyala di atas asbak, dulu ayahnya berpesan untuk mendatangi sang ibu ketika pria itu sudah tidak ada karena katanya wanita yang telah menjadi mantan istrinya itu sangat menyayangi anaknya.

Saka berdecih, "Aku tak akan menemuinya Ayah, wanita itu... aku tidak ingin bertemu dengannya. Dia membuangku kan? Dia tak menginginkan ku, maka akupun tidak menginginkannya. Aku membencinya sebesar rasa sakit atas hinaan yang ku terima!"

"Wanita itu meninggalkan kita demi dirinya sendiri, aku benci dia. Bunda bagiku sudah mati! Aku tidak membutuhkannya!" lugas pemuda dengan baret menyela alis kirinya.

Saat Bunda dengan kejam meninggalkan ia demi lelaki lain yang menyebabkan kesakitan mendalam untuk ayahnya, Saka benci itu. Bahkan setelah bertahun-tahun pun wanita yang semestinya ia panggil Bunda itu tak pernah datang sekadar untuk bertatap muka.

"Aku tidak butuh keluarga!  Aku tidak butuh Bunda! Aku benci, sangat membencinya! Aku bisa hidup sendiri."

"Kau dengar Ayah?! Aku benci wanita yang kau cintai itu! Aku sangat membencinya!" tegas pemuda itu seraya memukul meja.

Tawa terdengar menggelora setelahnya, cowok itu terpingkal sambil mengambil kembali lintingan nikotin dan mematikan api ke salah satu ujungnya.

Setelah menyaksikan raga kasar ayahnya tertimbun tanah maka sejak saat itu pula angan tentang sosok Ibu ia kubur dalam-dalam karena percuma saja mengharapkan seseorang yang bahkan telah membuang kita, pun ia rasa cukup dipatahkan lewat kematian Ayahnya tak perlu menambah sakit atas penolakan yang pastinya ia dapat dari bundanya itu.

Meskipun perlakuan ayahnya cukup keras dan kasar tetapi setidaknya pria itu tidak membuat ia yatim-piatu sejak dini, setidaknya pria itu menjadi peranan ayah yang sangat ia segani.





***






Brakk



Tendangan pada kursi menarik atensi para siswa-siswi yang tengah berbincang-bincang di dalam kelas, mereka kompak mendengus malas melihat keributan yang diciptakan oleh si pentolan sekolah. Jam kosong yang diniatkan untuk berleha-leha tanpa adanya tugas dari guru justru dikacaukan oleh manusia biang onar tak punya akal sehat itu.

"Ngomong apa lo tadi?!" damprat Saka menarik kerah kemeja cowok yang duduk di belakangnya.

"Cih, baperan amat jadi orang. Gue cuma bilang lo yatim piatu dan itu adalah fakta jadi gak usah baper lah" jawab Ardan teman satu kelas Saka.

"Gue gak suka ada yang menyinggung masalah pribadi gue!" kecam Saka melayangkan hantaman keras di pelipis Ardan hingga hampir kehilangan keseimbangan.

Tak mau kalah cowok itu menendang paha kiri Saja, hingga terjadilah aksi saling beradu bogeman.

"Bangke!" umpan Saka melempar buku yang cukup tebal didekatnya mengenai wajah Ardan.

"Sialan! Dasar anak yatim-piatu! Pecundang! Bodoh!" maki Ardan

"Bajingan! Gue pastiin lo bakal mati di tangan gue!"

Kelas yang semula rapi seketika berantakan di mana buku-buku berserakan juga bangku deret belakang turut acak-acakan, sementara kedua orang pelaku masih asik baku hantam tidak peduli luka dimasing-masing organ tubuh mereka karena yang mereka tahu hanya menjadi yang terkuat dalam perkelahian tidak penting ini.

"Udah woy! Perkara kecil aja ributnya sampai kek gini kayak bocah tau gak kalian berdua!" lerai si ketua kelas menarik bahu Ardan mundur agar mereka berhenti saling memukuli.

"Gak usah ikut campur nyet! Ini urusan gue sama sampah satu ini." Saka mendorong si ketua kelas menyingkir dari hadapannya. 

"Gue? Sampah? Gak salah? Lo yang sampah, bangsat! Lo udah buat adik gue hancur, gue gak akan lupa gimana lo dalang dari penderitaan adik perempuan gue."

"Heh maksud lo apa!" Saka hendak kembali menyerang Ardan terapi segera di cegah oleh tiga anggota kelas yang lain dengan menghadang pergerakan cowok itu.

"Lo udah makek adik gue sialan! Lo ambil hal yang gak seharusnya! Adik gue depresi itu semua karena lo, Saka! Bisa-bisanya lo hidup dengan tenang sementara orang yang gue sayang menderita seumur hidupnya. Tapi gue gak heran karena cowok macam lo gak lebih dari iblis bajingan! Mungkin ini juga alasan bokap lo milih mati karena terlalu muak punya anak seorang cabul! Patas aja gak punya ibu" pekik Ardan membuat siswa siswi yang ada di sana tercengang tak percaya.

Apa Saka seliar itu sampai merenggut masa depan seorang gadis? Miris selaki.

"Wah bejat banget lo Ka, gak nyangka sih."

"Gue kira dia gak sampai kayak gitu tapi ternyata? Iyuhh najis."

"Udah feeling sih dia brengsek."

"Yang gue heran kok Ashilla mau punya cowok penjahat wanita kayak dia."

"Apa jangan-jangan Ashilla udah juga?"

Bisik-bisik segerombolan siswa terdengar menusuk gendang telinga, deru napas pemuda itu kian memburu kobaran amarah tanpak jelas diri pandangannya. Menyentak orang yang mengunci pergerakannya, Saka bergegas menarik lengan Ardan tak berperasaan.

"Gue. gak. sebejat. itu!" tekannya menendang perut Ardan hingga punggungnya membentur tembok.

"Kalau lo gak tahu kejadiannya lebih baik lo cari tahu lo tanya sama adik lo siapa yang buat dia kayak gitu!"

"Halah! Gue lihat sendiri lo ada di tempat itu!"

"Lo—"

"Kalian berdua ikut saya ke ruang guru!" seru wanita berkacamata menyela pertikaian yang ada.







Bersambung......


Jangan tiru hal buruk yang dilakukan para tokoh, ya.

gisart, 6 Februari 2024

Tak Tentu Arah [Saka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang