15

82 5 3
                                    

"Emosi adalah suatu perasaan yang sulit dikendalikan"

_Saka A_



Happy Reading

🖤🖤🖤



Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah itu bersandar dengan tangan terlipat menatap tombol lift yang membawanya ke lantai enam tempat unit yang ia tinggali. Dia melirik jam tangan sekilas  ketika lift berhenti, bersiul ia berjalan seorang diri menyusuri lorong sepi menuju pintu unit paling ujung.

Di lantai ini merupakan hunian yang paling sepi jika dibandingkan unit di lantai lain, bisa dihitung ada 3 kamar yang berpenghuni. Orang bilang pernah ada tragedi keji di lantai enam sehingga orang-orang enggan menempati unit di lantai tersebut. Langkah cowok itu tertahan sejenak mendapati sesosok wanita berdiri di dekat pintu, menghela napas ia berdecak bergegas menghampiri wanita itu.

"Apa yang dia lakukan di sini?" Ia menggerutu.

"Saka!" sambut wanita 39 tahun itu kelewat antusias.

Saka mendelik tak menanggapi, membelakangi wanita itu hendak menempelkan kartu akses untuk membuat pintu.

"Nak lihat Bunda membawa makanan untukmu, pasti kamu belum makan kan?" ucap Hera.

Saka menyentak tangan yang bertengger di lengannya, wanita itu terkejut atas sikap kasar anaknya. Benarkah anak itu tumbuh dengan perilaku seperti ini? Apa keluarga mantan suaminya tak mengajari etika yang baik?

"Saka kamu..."

"Ngapain ke sini? Maaf saja, aku sedang tidak ingin menerima tamu" ujar Saka berbalik badan menghadap ibunya.

"Bunda kesini bawain kamu makanan, kita makan sama-sama ya? Bunda udah masakin khusus buat kamu, pasti kamu suka" wanita itu menunjukkan tot bag yang ia bawa dari rumah.

Sehubungan pekerjaannya tak begitu banyak dan mumpung putri bungsunya tengah menginap di rumah neneknya jadi ia memiliki waktu senggang untuk membuatkan makanan untuk anak yang ia temui kembali setelah sekian lama ditinggalkan.

"Bunda gak tahu makanan kesukaan kamu apa, jadi bunda buat makanan yang Arthur suka, siapa tahu kamu juga suka" serunya antusias, mengingat kedua anak itu sama-sama remaja jadi kemungkinan seleranya tidak jauh berbeda.

Saka menatap tentengan ibunya dengan tangan terkepal, ia tak butuh kepedulian palsu ini. Jika hanya untuk menutupi rasa bersalah yang sebenarnya bentuk kepalsuan, Saka merasa apa yang tengah wanita itu lakukan tidaklah berguna, ia sudah besar dan terbiasa hidup sendiri tentunya tanpa belas kasihan orang lain.

Mau makan ataupun tidak itu menjadi urusannya sendiri, mau junk food atau makanan basi sudah tidak ada bedanya toh orang-orang tidak peduli juga.

Lalu apa tadi? Makanan kesukaan Arthur? Anak ibunya bersama lelaki lain yang berhasil menjadikan dirinya anak tanpa orangtua lengkap, menjadikan warna hidupnya sebatas hitam putih. Cih, fakta itu semakin memperkuat ketidaksukaannya pada saudara tirinya itu.

"Saya gak butuh apapun dari Bunda, saya bisa mengurus diri saya sendiri seperti yang sudah-sudah."

"Bunda tahu kamu mandiri, tapi apa salahnya menerima makanan dari ibumu sendiri? Saka, Anak dan orang tua itu memiliki ikatan batin yang kuat, tanpa kamu berbicara Bunda tahu apa yang kamu inginkan sebenarnya sebisa mungkin Bunda akan mewujudkan. Salah satunya makan bersama Bunda kan? Bunda juga tahu kamu sering makan-makanan yang kurang sehat, jadi mulai sekarang Bunda akan memastikan kamu memakan makanan sehat" tutur Hira bernada lembut.

Ia ingin mengambil hati putra sulungnya itu, secara perlahan membuat Saka terbiasa dengan kehadirannya dan menata kembali pecahan sakit hati akibat perbuatannya di masa lalu. Tawa mengejek remaja itu terdengar,

"Ikatan batin yang seperti apa? Bukankah sudah diputuskan ketika usiaku 2 tahun itu? Sejak aku mulai mengerti kenapa aku berbeda dari sepupu atau teman-teman ku sejak saat itu juga aku gak butuh Bunda lagi."

"Dan jika benar ikatan batin itu ada, seharusnya bunda tidak menelantarkan aku kan?" Dengan pedasnya Saka berbicara, raut dinginnya seakan mempertegas kalimat yang ia katakan.

"Maaf, Bunda menyakitimu—"

"Sudahlah, lebih baik Bunda pergi seperti dulu dan jangan pedulikan aku. Terserah aku mau melakukan apapun itu semua tidak ada kaitannya dengan hidup Bunda."

"Kamu salah Saka, kamu penting bagi Bunda. Bagaimana kamu menjalani hari? Apa yang kamu makan?, Apa yang kamu butuhkan?  Semua berkaitan dengan Bunda, Bunda ingin menjadi penting untuk kamu menjadi sosok Ibu yang selama ini tak kamu dapatkan."

"Pergi dari sini!" usir pemuda itu malas berlama-lama dengan wanita yang semestinya amat sangat ia hormati.

"Baik Bunda akan pulang, tapi kamu terima makan ini ya."

Hera memilih menuruti kemauan anaknya, untuk mengambil hati anaknya ia harus melakukan secara bertahap. Pelan-pelan ia pasti bisa meluluhkan keras hati putranya, membuat Saka menerima kehadirannya.

"Aku bilang aku tidak butuh apapun darimu!" hardik Saka.

"Tapi Bunda membuat ini khusus untuk kamu, tidak baik menolak niat baik orang lain Nak. Setidaknya terimakasih ini."

Saka menggeram kesal kehilangan kesabaran, ia meraih totebag dari tangan bundanya hingga mengukir garis bahagia di bibir wanita itu.

Namun tak berselang lama senyum itu sirna bersamaan paper bag berisikan makanan terlempar berserakan di lantai. Hatinya tercubit tatkala makanan itu terbuang sia-sia, ia tak menduga Saka akan membuang pemberiannya.

"Sampah itu tidak pantas di makan" kasarnya tak berperasaan.

Lagi-lagi dia menunjukkan ketidak sopanan dengan perbuatannya, memperlihatkan betapa buruk dirinya yang tidak beretika.

Perilaku yang tidak menghargai orang lain benar-benar bukan sesuatu yang patut ditiru. Pengucapan kalimat kasar dan menghina itu pun tidak patut dinormalisasi apalagi saat ini ia berbicara pada wanita yang telah melahirkannya.

Terlepas dari rasa sakit yang ditinggalkan tetap saja Saka tidak mesti sekasar itu.

"Berhenti pura-pura baik di depanku" kecam pemuda itu membanting pintu dengan keras.

Hera menatap nanar pintu yang tertutup rapat itu, hatinya tercubit pedih akan penolakan yang diterima. Putranya itu seakan benar-benar menutup hati, tapi ia juga tak bisa menyalahkan atau memaksa sebab sadar ialah yang salah.

Mungkin ini buah hasil keegoisan dan keserakahannya dulu, keputusan salah yang menyakiti banyak pihak. Perlahan ia melangkah pergi memberi sedikit ruang untuk menenangkan diri, tapi ia berjanji akan datang lagi dan lagi, untuk menebus kesalahan di masa lalu dan mendapat maaf oleh anaknya itu.

Lelaki berperawakan tinggi itu masih berdiri di balik pintu, napasnya memburu menahan luapan emosi. Tak akan ia lapisan pada apapun, kali ini dan seterusnya akan ia biarkan amarah dan segala emosi memenuhi tiap sel dalam dirinya. Biarkan saja emosi itu mengikis jiwa, sekalipun raganya hancur berkeping-keping ia tak peduli lagi mulai sekarang.

Namun ada sesuatu yang berbeda yang perlahan merambat dalam hatinya, sesuatu yang membuat ia gelisah. Dia seperti merasa bertingkah berlebihan tadi, seperti dia ingin keluar dan membicarakannya lagi.

Apa ini perasaan bersalahnya?



Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan kaki 👣👣

Babay🖐️

Tak Tentu Arah [Saka]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang