Praiser 1: Letter

100 19 53
                                    

"ASTAGA, astaga, astaga! Di mana mereka berdua!" Kinna menggeram heboh dengan menoleh ke sana kemari. Koridor sedang ramai karena banyak murid yang keluar kelas karena sekarang sudah giliran mereka untuk maju ke lapangan basket.

Betul, hari ini adalah hari ketiga class meeting.

Beberapa murid menatap Kinna bingung dan beberapa di antaranya ada yang berbisik perihal tingkah Kinna yang hebohnya bukan main. Tangan sebelahnya juga bahkan memegang tangan Rura yang entah kenapa Rura juga mau tak mau terseret dalam kehebohan yang telah dilakukan Kinna.

Rura masih ingat bagaimana Kinna memasuki kelas dengan langkah cepat-tanpa permisi dan salam-dan menceritakan peristiwa yang terjadi kemarin malam dengan nada bicara super cepat.

Beruntung Rura mengerti, sedikit, dan setelah itu Kinna dengan seenak jidat membawanya keluar kelas. Rura sedang menggambar saat itu.

Rura tidak masalah sebenarnya. Serius, yang jadi masalahnya adalah tingkah Kinna yang di luar kendali. Heboh sana-sini. Meneriakan nama Diana dan Elsa beberapa kali sampai kupingnya pekak. Bukan hanya kupingnya dia rasa, murid lain yang mendengar teriakannya pun sama pekaknya dengan dirinya. Beberapa bahkan ada yang sampai menutup kedua telinga mereka.

Karena tidak menemukan dua orang yang dia cari, Kinna pun mencoba mencari Elsa dan Diana ke tempat lain. Dengan membawa Rura yang sudah lemas. Rura ingin protes sebenarnya, tapi dia memutuskan untuk pasrah saja. Toh, selain cerita Kinna, dia juga ingin tahu cerita Elsa dan Diana meski tampaknya dia akan mendengar cerita 'itu' untuk ke sekian kalinya.

Kinna berlari dengan menggandeng Rura. Berbelok, melewati adik-adik kelas yang menatapnya heran, lalu tanpa sengaja menabrak guru ataupun staff sekolah sampai mereka berdua harus menunduk dan meminta maaf.

Beberapa menit dia tak kunjung menemukan dua gadis itu. Mungkin kecuali Rura yang sebenarnya lebih tertarik pada gambarnya daripada bertemu Diana dan Elsa. Toh, dia sudah mendengar 'cerita' mereka, jadi tampaknya, itu sudah cukup.

Syukurnya, ketika Kinna dan Rura hendak melewati ruang guru, mereka berpapasan dengan Diana yang baru saja keluar dari sana. Kinna dan Rura berlari kecil menghampirinya. Kinna kemudian berseru, "astaga, di saat semuanya sedang beristirahat setelah ujian, kau masih dengan rajinnya masuk ke ruang guru?" Kinna bertanya heboh dengan sorot mata tajam dan tidak habis pikir. Rura menghela napas, mulai lelah dengan tingkah Kinna.

"Ah, bukan. Aku hanya membantu Bu Ratna mengoreksi hasil UAS kelas tujuh, kau tahu? Di pelajaran seni budaya-"

"Ah, tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak peduli!" seru Kinna sambil menggeleng. Diana menatapnya bingung. "Sini, ikut aku! Aku ingin cerita," sambungnya kemudian, dengan menarik tangan Diana.

"Sekarang, kita harus mencari Elsa agar semuanya terlihat jelas!"

-

Yang terhormat,
Kinna Vanessa
Sang Praiser Kupu-kupu

Kami, selaku guru dan staff Akademi Satria telah melihat dengan jelas bagaimana Anda bisa memprediksi nasib seseorang melalui kupu-kupu hijau tak kasat mata. Bukan cuma itu, Anda pun juga berhasil menyelamatkan beberapa orang agar mereka terhindar dari nasib buruk. Untuk itulah, setelah Anda menerima ijazah SMP Anda, kami harap Anda dengan senang hati mau menerima undangan kami dan mau masuk ke Akademi Satria sebagai murid kami.

Salam,
Kepala Sekolah
Cahyadi Utomo

Setelah Kinna membacakan surat itu, semua sahabatnya langsung diam. Apalagi Elsa dan Diana, mengingat mereka juga mendapatkan surat yang serupa. Elsa mendapatkannya kemarin, dan lusanya, Diana juga dapat. Baik Elsa maupun Diana, mereka sama-sama tidak tahu siapa pengirimnya. Orang asing kah?

"Siapapun yang mengirimnya, mungkin dia sedang berkhayal menjadi penulis cerita fantasi. Kemudian setelah itu, dia melakukan riset dengan cara mengirim surat aneh ke kita." Elsa menyimpulkan. Hanya itu sekiranya kesimpulan yang bisa dia keluarkan, karena pada dasarnya Elsa benar-benar tidak peduli dan tidak menanggapi surat itu. Dia menerimanya, membacanya, tetapi setelah itu membuangnya ke tempat sampah.

Kinna menatap Elsa tak mengerti. Khususnya, di bagian dia menjelaskan tentang penulis fantasi yang sedang melakukan riset. "Penulis itu 'kan modalnya cuma halu, apalagi penulis fantasi, memangnya kegunaan riset buat apa coba?"

"Kegunaannya adalah agar cerita mereka masuk akal. Meski genrenya fantasi, bukan berarti alur dan karakterisasinya tidak nyambung 'kan? Nah, dengan riset, penulis bisa menyimpulkan apakah tulisannya masuk akal atau tidak," jelas Diana, tiba-tiba. Kinna menatapnya dengan manyun. "Diana, mending kamu nggak perlu ikut campur deh, kepalaku jadi berasap tahu."

"Oh? Ahahaha, maaf deh." Diana tertawa dengan anggun. Dia nyaris lupa kalau Kinna tidak suka belajar. Itu terbukti ketika dia melihat di atas kepala Kinna, awan kecil yang bergemuruh karena Diana sempat berbicara tentang novel-topik yang pernah dipelajari di mata pelajaran bahasa Indonesia. Kinna kurang suka dengan mata pelajaran itu.

"Tapi aku heran, kenapa dia dengan segitunya melakukan riset ke orang lain? Elsa, apa ini adalah hal yang wajar kalau penulis fantasi melakukan riset sampai segitunya?" tanya Diana. Mungkin Kinna tidak tertarik dengan pembahasan ini, tapi Diana tertarik.

Elsa, Diana, dan Kinna diberi surat yang sama, dengan isi yang berbeda, tapi memiliki cap yang sama serta tujuan yang sama, yaitu diajak masuk ke Akademi. Bisa jadi surat itu dikirim oleh orang yang sama, 'kan?

"Kebanyakan penulis fantasi, akan melakukan riset di internet, sekeliling mereka, ataupun di komunitas menulis. Aku tahu itu dari Bibiku yang kebetulan seorang penulis, dan orang yang membuat riset sampai seperti ini, bisa jadi dia adalah orang gila," jawab Elsa. "Tapi, yang kuucapkan itu hanya sekadar kesimpulanku yang tidak pasti, karena aku pun sebenarnya tidak tahu siapa yang mengirimi kita surat itu, tapi dari isinya dijelaskan bahwa sang pengirim tahu siapa kita sebenarnya," sambung Elsa.

Meski niatnya bukan untuk menakut-nakuti pun, tetap saja Diana dan Kinna secara langsung menunjukan wajah takut mereka. Terlebih, mereka berdua mendapatkan surat dengan pembuat yang sama-Kepala Sekolah, yang membuat mereka tidak yakin apakah itu betul pengirimnya atau bukan-dan rahasia yang mereka jaga rapat-rapat pun, akhirnya terbongkar.

Ya, keempat sahabat itu memiliki semacam ... kekuatan unik yang berhubungan dengan benda atau psikis orang lain. Jika mereka menggunakan kekuatan mereka, maka, mereka bisa tahu kondisi orang lain. Terlebih, kekuatan Kinna berhubungan dengan nasib yang akan dialami orang yang dia temui atau orang yang dia ajak ngobrol.

"Ah! Rura! Ada kupu-kupu di atas kepalamu!" Kinna berseru kaget membuat si empunya nama juga ikut kaget. Rura nyaris berteriak kalau saja dia tidak buru-buru menutup mulutnya.

Saat ini, keempat gadis itu sedang berkumpul di taman belakang sekolah. Akan sangat tidak lucu kalau ada murid lain yang tahu atau mendengar diskusi rahasia mereka.

"Army atau emerald? Army atau emerald?" Rura bertanya dengan heboh. Hal yang paling tidak lucu di dunia ini adalah ketika Kinna memberitahu atau melihat ada kupu-kupu tak kasat mata di dekatnya. Kalau Kinna melihat kupu-kupu emerald, mungkin itu bisa jadi nasib baik baginya, tapi kalau Kinna melihat kupu-kupu army ... matilah dia!

"Kupu-kupu biru," jawab Kinna dengan mata memicing.

Four Ladies of Praiser [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang