Praiser 19: Lake

16 4 2
                                    

DANAU yang membentang luas, lengkap dengan langit cerah tanpa awan sukses memanjakan mata mereka berempat. Airnya berwarna biru karena terkontaminasi dengan warna langit membuat kota kecil ini jadi semakin menarik.

Ya, Yohans. Kota kecil dengan danau luas membentang yang menjadi destinasi wisata akhir pekan.

Rura pernah ke sini, sekali, dan itu lama sekali. Saat Ayahnya masih hidup. Namun sekarang, dia ke sini lagi, kali ini, bersama ketiga sahabatnya.

"Yohans ...." Rura bergumam kagum dengan mata yang mengarah ke danau yang saat ini tengah mereka lewati. Ada gunung hijau yang membentang di seberang danau. Bunga-bunga hydrangea pun bermunculan di sisi jalan seiring kelajuan mobil.

Rura ingin membuka komunikasi dengan bunga-bunga itu. Hanya saja, karena kelajuan mobil yang cukup cepat, membuatnya tidak bisa mengeluarkan  kekuatannya.

Diana tertawa kecil ketika melihat tingkah Rura, sementara Elsa hanya tersenyum. Rasanya seperti melihat adik kecil yang baru pertama kali diajak jalan-jalan.

"Kau pasti sudah lama pengen ke sini, ya? Daftar sekolah pun juga di sini." Kinna berceletuk sambil tersenyum. Ikut melihat tingkah Rura yang dirasa menggemaskan. "Iya, soalnya Ayahku pernah mengajakku ke sini, dan dia juga yang mengajakku ke sekolah asrama putri," jawabnya, tanpa menoleh dan terus menatap danau itu.

"Ayah punya teman seorang guru di sana, jadi aku ikut dengannya. Kami dibawa ke sebuah sekolah asrama putri saat itu. Bangunannya bagus, seragamnya cantik, dan di sana ada taman bunga juga. Karena itulah, aku ingin bersekolah di sana," pungkas Rura.

"Setelah apa yang terjadi, apakah kau masih ingin bersekolah di sana?" tanya Elsa. Diana langsung melotot ketika mendengar pertanyaan Elsa. Alasan mengapa Diana mengeluarkan ekspresi demikian, karena dia melihat perubahan awan emosi yang ada di atas kepala Rura.

Awan emosi Rura yang sebelumnya berawan dengan matahari mungil yang bersinar seketika berubah gelap. Artinya, dia langsung sedih mendengar pertanyaan Elsa meski ekspresinya tidak menunjukkan demikian. Diana langsung menendang kaki Elsa dengan pelan, dan memberi gadis itu tatapan tajam atas pertanyaannya.

Elsa langsung menyadari tatapan itu dan berbisik padanya. "Aku salah bicara, ya?"

"Tidak kok!" Rura langsung menyahut pertanyaan Elsa. Dia juga menoleh dan tersenyum pada gadis itu. "Soalnya, aku ke Akademi Satria bersama kalian. Jadi, tidak akan kesepian!" Rura berkata dengan ceria. Dia mirip Kinna kalau seandainya tidak pemalu dan pendiam. Mungkin akan jadi Kinna versi elegan mengingat Rura memiliki penampilan yang lebih feminim.

Diana menghela napas. Entah kenapa dia lega ketika melihat awan yang ada di atas kepala Rura kembali ceria. Awan yang lengkap dengan matahari mungil yang bersinar cerah. Itu artinya Rura sedang senang, dan suasana hatinya sedang sangat bagus.

"Jangan khawatir Praiser Bunga, di Akademi juga ada taman bunganya."

"Eh? Benarkah?" Rura bertanya antuasias ketika mendengar ucapan Pak Sobari. Pria bertopeng kelana itu mengangguk. "Ya, bahkan ada ekskul berkebunnya juga. Saya bukan guru, hanya saja, karena kemampuan Praiser Bunga berhubungan dengan tanaman, mungkin Praiser Bunga akan cocok dengan ekskul itu."

"A-aku akan ikut ekskul itu kalau sudah masuk Akademi Satria!" Rura langsung memutuskan dengan cepat. Dia gugup, tetapi juga bersemangat. Dia pikir, kalau dia masuk ke ekskul itu, mungkin kekuatannya bisa diasah dan mungkin dia bisa mengobrol dengan bunga yang ada di sana sepuasnya. Ah, dia jadi rindu dengan bunga yang ada di tokonya.

"Kau yakin Rura?" Elsa bertanya. Dia agak heran melihat Rura memutuskan dengan sangat cepat.

Bagi Elsa, Rura adalah tipe pemikir lambat. Lebih tepatnya, dia tipe orang yang sangat lama dalam membuat dan mengambil keputusan. Elsa, Diana, dan Kinna akan sangat sabar menunggu karena mereka paham, terkadang membuat keputusan, baik kecil maupun besar itu perlu waktu. Apalagi keputusan untuk mengikuti suatu ekskul atau organisasi tertentu. Tentu hal itu harus dipikir dulu apakah nantinya kita bakal berhenti di tengah jalan, atau tidak. Semuanya harus dipikirkan masak-masak. Paling tidak, pikirkan dulu apakah waktu yang kita punya layak untuk dipakai kegiatan lain, atau tidak.

Four Ladies of Praiser [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang