Praiser 15: Go

24 6 18
                                    

INI untuk pertama kalinya Elsa mengikat rambut ponytail-nya dengan pita biru. Biasanya, Elsa enggan menghias rambutnya dengan berbagai macam hiasan seperti pita, jepitan, dan semacamnya. Kekanak-kanakan menurutnya. Namun, sekarang dia memutuskan untuk menghiasnya. Masa bodo kalau Kinna akan menertawakannya, dia tidak peduli. Yang penting, rambut hitamnya sudah cantik, dan dia sudah siap berangkat.

"Elsa, apa sudah selesai? Mobil jemputanmu sudah ada di depan!" Ibu meneriakinya, memberitahunya. Elsa balas berteriak dan berkata bahwa dia sudah siap. Dia kemudian meninggalkan cermin dan langsung mendorong kopernya dengan susah payah.

Ayah tiba-tiba saja muncul dari balik pintu kamarnya, dan kemudian membantu Elsa mengingat gadis itu sangat kesusahan dalam membawa koper. Ayah membopong koper tersebut ke sebelah pundaknya dan langsung bergerak. Elsa mengikutinya dengan menggendong tas ransel biru yang berisi buku tulis, kotak pensil baru, dan beberapa pasang kaos kaki baru.

Dia akan masuk ke sekolah baru, dan Ibunya menginginkan dia memakai sesuatu yang serba baru. Elsa masih ingat bagaimana Ibu dengan heboh dan antusias mengantarkannya ke mall dan membelikannya berbagai macam kebutuhan sekolah. Saat itu, Elsa merasa bukan dia yang akan bersekolah, tetapi Ibunya yang akan bersekolah.

Tidak, Elsa bukannya tidak bersemangat. Dia hanya penasaran. Apa yang akan dia pelajari di sana? Apakah mata pelajaran di sana sama seperti mata pelajaran yang ada di sini? Yang pernah dia pelajari? Atau jangan-jangan berbeda, mengingat dia akan bertemu banyak Praiser lain selain ketiga sahabatnya?

Elsa deg-degan, serius. Namun, dia memutuskan untuk tenang dan mensugestikan diri bahwa dia akan baik-baik saja.

Mereka berdua pun turun dari lantai atas ke lantai bawah. Dilihatnya, Ibu sudah menunggu mereka dengan setelan pakaian semi-formal. Ibu akan mengajar hari ini, tetapi dia memutuskan untuk izin terlambat karena dia ingin melihat putrinya berangkat.

Baru saja Elsa menginjak lantai bawah, Ibu langsung berlari kecil ke arahnya dan memeluknya erat. Kalau sudah begini, Elsa bingung harus berbuat apa, karena dia sadar betul dia tidak selincah dan seceria Ibunya.

"Tidak terasa putri Ibu sudah besar." Ibu berucap dengan terharu. Dia melepaskan pelukan dan menatap putrinya dengan bangga.

Dia mengusap kepala Elsa dengan hati-hati, membuat Elsa merengut. "Ibu, aku sudah lima belas, aku bukan anak kecil lagi!"

"Oh, ya? Yakin tidak akan rindu dengan Ibu?" Ibu menantang, bermaksud bercanda. Elsa manyun. Jelas merasa tertantang dengan ucapan Ibunya. Ibu tertawa. Senang melihat ekspresi Elsa yang menurutnya menggemaskan.

"Oke, kalian berdua, ayo kita keluar. Sebelum itu, Elsa, kemari Nak," ucap Ayah tiba-tiba.

Elsa menghampiri Ayah dengan patuh, dan begitu Elsa sudah dekat, Ayah pun memegang kedua bahunya. Dia lantas berkata dengan serius. "Kendalikanlah kekuatanmu dengan baik, dan jika ada apa-apa, kau boleh menelepon kami. Pihak Akademi memperbolehkan kalian membawa ponsel 'kan?" tanya Ayah. Elsa mengangguk.

Ayah tersenyum. "Bagus."

"Jaga dirimu baik-baik ya, Sayang. Ibu akan sangaaaaat merindukanmu," kata Ibu. Dia memeluk Elsa lagi, dan Elsa pun membalas pelukan dan menepuk punggung Ibunya pelan sebagai respon. "Iya, aku juga akan rindu Ibu."

Sesi pelukan pun sudah selesai. Ayah membuka pintu, mempersilakan istri dan putrinya keluar sampai kemudian dirinya menyusul.

Baru saja keluarga kecil ini keluar, mata mereka pun langsung disambut oleh mobil limosin mewah yang terparkir di sisi jalan.

Orang-orang yang berlalu-lalang pun sontak menolehkan kepala mereka ke mobil itu. Tatapan mereka menunjukan kekaguman. Beberapa ada yang bertanya-tanya perihal siapa dan kenapa pemilik mobil jenis sedan mewah ini terparkir di sisi jalan yang cukup ramai. Dengan mobil ini, bukan hanya orang-orang di sisi jalan, tetapi orang-orang yang ada di seberang jalan pun beberapa sontak berhenti dan mengagumi mobil mewah tersebut. Kebanyakan yang mengagumi adalah kaum Adam dengan setelan baju SMK, siswa-siswa jurusan otomotif sepertinya.

Bukan hanya mobil. Seseorang dengan kemeja batik, lengkap dengan celana bahan hitam serta sepatu pantofel khusus lelaki, juga udeng-ikat kepala khas bali yang terikat di kepalanya-sedang berdiri gagah seolah-olah menunggu Elsa. Tak lupa wajahnya ditutupi topeng pamindo-topeng yang memiliki visual anak-anak dengan wajah putih polos-membuat dirinya dan mobil ini semakin mencolok dan menjadi pusat perhatian.

Bukan hanya itu, Pak Sobari pun juga tiba-tiba saja keluar dari mobil. Dengan setelan tradisionalnya-baju adat jawa lengkap dengan topeng kelana-dia mengucapkan salam selamat pagi sambil membuka blangkonnya. Membuat pemandangan ini semakin aneh sekaligus misterius di waktu yang bersamaan.

Ayah dan Elsa terdiam. Merasakan suasana aneh ketika mereka melihat mobil dan dua orang itu.

"Astaga ... mereka tidak bilang pada kita kalau mobilnya bakal semewah ini." Ayah bergumam pelan, sedangkan Ibu tersenyum karena sedari awal, dia sudah melihat limosin serta mengobrol dengan pria bertopeng pamindo itu.

Ayah berjalan ke depan mendahului Elsa dan Ibu. Ada koper yang mesti disimpan di dalam bagasi mobil, dan Ayah tidak ingin mengangkat benda ini terlalu lama.

Ibu dan Elsa mengekori Ayah. Elsa gugup, dan menatap Pak Sobari tajam sambil bertanya-tanya dalam hati, kenapa si Sobari sialan ini menjemput kami dengan limosin? Malu tahu.

Elsa tidak suka jadi pusat perhatian. Namun, kalau dia menjadi pusat perhatian karena prestasi dan nilai bagus, itu bisa dibicarakan.

Jarak Elsa dan mobil sudah dekat sekarang, dan pria bertopeng pamindo itu membukakan pintu mobil dengan senang hati. Di dalam mobil, Elsa melihat Kinna, Diana, dan Rura sedang makan roti dan mereka langsung menyapanya dengan tersenyum hangat dan ceria.

Ayah memasukan kopernya ke dalam bagasi dengan dibantu oleh Pak Sobari.

Elsa masuk ke dalam mobil. Dia duduk di samping Kinna. Ah, kalau boleh di deskripsikan, mereka duduk secara berhadapan. Rura dan Diana di kiri, sementara Elsa dan Kinna di kanan. Posisi Elsa dan Kinna berhadapan dengan Rura dan Diana, itu artinya pandangan mereka mengarah ke belakang, sementara pandangan Rura dan Diana mengarah ke depan.

"Eh, mau roti?" Kinna langsung menawarkan berbagai macam roti yang dia bawa dari toko rotinya, lengkap dengan kardus roti ukuran sedang dengan desain serta tulisan 'Vanessa Bakery'. Elsa melihat Rura dan Diana juga sedang mengunyah roti, pasti dari Kinna.

"Terima kasih." Elsa mengambil satu. Dia langsung melahapnya, meski tahu betul sebenarnya dia sudah sarapan.

"Hati-hati anak-anak." Ibu mengingatkan dengan tersenyum sambil menyebulkan kepalanya ke dalam mobil. Semua gadis mengiyakan sambil mengangguk. Ada juga yang menjawab dengan mulut penuh. Ya, itu Kinna.

Pintu ditutup, dan sekarang tinggal mereka berempat di dalam mobil. Pria bertopeng pamindo dan Pak Sobari pamit kepada orang tua Elsa.

Ibu berpesan kepada keduanya untuk menjaga Elsa beserta sahabat-sahabatnya. Sama seperti Ibu, Ayah juga mengingatkan kedua pria ini untuk menjaga keempat gadis muda yang ada di dalam mobil. Dia juga menyentuh masing-masing pundak mereka, kemudian meremasnya dengan sorot mata tajam. Sekarang, suasana aneh yang ada di sini mendadak suram dan mengerikan.

"Jaga mereka." Hanya itu yang Ayah katakan. Dia pun melepaskan kedua pundak pria itu. Pak Sobari mengangguk menyanggupi, sementara yang satunya lagi-pria bertopeng pamindo-merinding tak karuan. Rasanya baru pertama kali dia diberi tatapan seperti itu. Kakinya sampai lemas dan kedua tangannya nyaris tremor. Serius!

Nah, setelah menerima pesan tersebut. Pak Sobari dan pria bertopeng pamindo pun langsung masuk ke dalam mobil.

Mobil pun berjalan dan menjauhi mereka berdua, membuat Elsa dan ketiga sahabatnya juga ikut menjauh.

Four Ladies of Praiser [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang