Praiser 12: Wind

23 5 7
                                    

BUNDA masih mematung di tempat. Dia belum mengizinkan Pak Sobari masuk dikarenakan kemunculannya yang tak disangka-sangka. Keempat sahabat menggerakkan kepala mereka, berusaha melihat siapa gerangan yang masuk melalui balkon. Ayah maju ke depan, hendak menghampiri Bunda dan bertanya padanya mengapa sangat lama.

"Bun, ada a—siapa kamu?" Ayah langsung berseru begitu dia melihat Pak Sobari.

Pak Sobari menatap Ayah, sementara Bunda menenangkannya. Dia khawatir, Ayah akan mengamuk, apalagi di kondisi Diana yang masih sedih-sedihnya.

Diana sendiri? Dia berdiri, memisahkan diri dari pelukan sahabat-sahabatnya membuat ketiga sahabatnya kebingungan. Kesedihan Diana sudah reda, tetapi awan yang ada di atas kepalanya belum juga berhenti mengeluarkan hujan dan petir.

Lantai kamar yang kering berangsur-angsur basah dikarenakan hujan yang ada di atas kepalanya. Elsa, Rura, dan Kinna memperingatkannya untuk tidak ikut campur dengan urusan orang dewasa. Namun, karena rasa penasaran yang begitu kentara, Diana jadi tidak mendengarkan peringatan dari para sahabatnya.

"Pak Sobari Sobri?"

Diana memanggil pria Jawa itu dengan nama lengkap. Pak Sobari senang karena Diana mengingat namanya dengan baik. Apalagi gadis cantik itu memanggilnya dengan nama lengkap.

Bunda dan Ayah menoleh ke arah Diana. Terkejut, karena rupanya putri mereka tahu pria ini.

"Diana, kamu ... mengenalnya?" tanya Bunda. Diana mengangguk patah-patah. "Kami pernah bertemu ... dan beliau yang menawarkan Akademi Satria pada kami."

Ayah membelalakkan mata. 'Kami'? Dia bilang 'kami'?

Ayah dan Bunda pikir, hanya Diana yang akan masuk ke sekolah bergengsi itu. Namun, tak disangka, rupanya Rura, Elsa, dan Kinna juga akan masuk ke sekolah itu.

Pak Sobari menyembulkan kepalanya, mencoba melihat keadaan Diana karena tertutupi Bunda dan Ayah. Mata Pak Sobari menangkap Diana, dan dia pun menganggukkan kepalanya ketika melihat kondisi gadis itu. Ah, gadis cantik yang malang. Dia basah karena kekuatannya sendiri.

"Praiser Awan, Anda baik-baik saja?" tanya Pak Sobari, tiba-tiba. Ayah dan Bunda kembali menatap Pak Sobari. Agak terkejut dan merasa aneh karena putrinya dipanggil dengan nama lain.

Diana selaku orang yang dipanggil 'Praiser Awan' menggeleng. Dia bisa saja berbohong dan berkata pada pria Jawa itu kalau dia baik-baik saja. Namun, karena kedatangan Pak Sobari yang tak wajar—yang tiba-tiba ada di balkon—jadi Diana memutuskan untuk jujur saja. Selain itu, kalau dia berbohong pun, ketiga sahabatnya pasti akan meralat kalau dia tidak baik-baik saja.

Pak Sobari mengangguk lagi, kemudian masuk ke kamar Diana dengan seenak jidat. "Mau apa kau?" Ayah langsung mencegatnya, tidak membiarkan Pak Sobari masuk.

Pak Sobari terdiam sejenak, lantas menunjuk Diana dengan jempolnya. "Membantu putri Anda."

"Anda siapa yang tiba-tiba saja masuk ke rumah kami? Lalu, bagaimana Anda bisa di sini, padahal ini 'kan lantai tiga, dan siapa Anda—"

Pak Sobari langsung memotong ucapan Bunda dengan mengubah dirinya menjadi angin. Dia kemudian menembus tubuh Bunda, lalu kembali ke wujud asalnya. Manusia.

Bunda terkejut bukan main, Ayah apalagi. Bahkan keempat sahabat, para pembantu, dan pegawai yang melihatnya juga terkejut. Mereka semua menatap waspada ke arah Pak Sobari dan bertanya-tanya dalam hati, siapa Pak Sobari ini? Dan makhluk apa dia?

Diana yang semula mendekat juga mulai mundur. Dia takut dengan aksi aneh Pak Sobari yang tiba-tiba menjadi angin, lalu kembali seperti semula—menjadi manusia. Pak Sobari ini bukan hantu 'kan?

Four Ladies of Praiser [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang