Signed

274 39 6
                                    

"Fuck."

Thomas dan Adeline sama-sama mencari oksigen sebenyak yang mereka bisa saat kedua nya melepaskan pencapaian mereka bersamaan.

Thomas memeluk tubuh Adeline erat dan kepala nya berada di pundak perempuan itu. Tubuh nya melemas untuk beberapa saat namun dia masih bisa menahan nya agar tetap berdiri sedangkan Adeline, ia memejamkan mata nya sebentar lalu bersandar pada cermin di belakang nya.

Adeline meraih wajah pria itu agar bisa menatap nya, ia pandangi netra kebiruan nya lekat-lekat. "Ada yang menganggu mu, Tommy?"

Thomas diam, ia membalas tatapan istri nya lalu beralih saat menarik miliknya dari tubuh Adeline dan merapikan celana nya.

Dia berbalik dan memperhatikan kamar istri nya di rumah sang Ayah mertua yang begitu luas dan mewah. Jika di bandingkan dengan kamar mereka di Birmingham, ini adalah surga.

Namun apa yang membuat Adeline rela menukar kamar mewah ini dengan kamar sederhana nya di sana.

Adeline memejamkan mata nya sambil menarik napas panjang lalu turun dari meja kaca rias nya dan merapikan pakaian nya.

"Walau kau tak memberitahu ku," Adeline duduk di kursi nya menghadap cermin, "Tapi setiap hentakan mu memberitahu ku." Adeline merapikan riasan di wajah nya. "Bahasa tubuh." jelas nya.

Thomas berjalan ke arah nakas kosong di samping tempat tidur lalu berbalik menghadap Adeline dan menyandarkan pinggang nya di sana. Ia menatap manik biru safir milik istri nya dari pantulan kaca. Thomas diam untuk waktu yang sangat lama bahkan saat Adeline sudah selesai dengan wajah nya.

Thomas menarik napas lalu menoleh ke arah jendela yang tertutupi kain gorden tipis berwarna putih. Dari sana, jendela nya menampilkan pemandangan taman bunga yang sangat indah.

Thomas mengeraskan rahang nya.

Pikiran nya berkecamuk.

Jika George Wilon adalah sahabat nya, kenapa Dia memberi Thomas surat itu, surat yang sudah ia bakar dari dua jam yang lalu. Dan kenapa, Adeline ada di dalam surat itu.

Thomas menunduk menatap kaki polos nya di atas karpet kamar, "Nona Fransesca tidak tahu rencana kami."

Thomas perhatikan wajah Adeline dari cermin untuk melihat reaksi nya. "Dia tidak tahu dia akan di bunuh hari itu. Tapi, atasan nya mengetahui nya," Thomas mengeraskan rahang nya, "Atasan nya tahu kami akan membunuh nona bayaran nya."

Adeline memasang anting nya sebelum akhirnya membalas tatapan suami dari pantulan cermin. "Kau masih mencurigai ku, Tommy?"

"Aku tidak mau," Thomas kembali menunduk, "Aku tidak mau mencurigai mu." Kepala nya terangkat, "Tapi kenapa aku melihat tandatangan mu di kertas kerja sama dengan Tuan Daniel?"

Thomas menatap lautan biru safir yang juga menatapnya dari cermin. Mereka adu pandang namun satu hal yang membuat Thomas berdecak kecil adalah, dia masih tidak mampu menerawang sorot pandang perempuan itu.

Adeline menarik napas lalu memutarkan tubuhnya agar mereka saling tatap secara langsung, "Lalu dimana kertas itu?"

"Sudah ku bakar, jika saudara ku melihat itu mereka takkan segan-segan menghabisi mu sekalipun kau istri ku." balas Thomas. Bahkan di saat mata mereka bertemu secara langsung, Adeline masih bisa menyembunyikan perasaan di sorot mata nya.

Adeline mengangguk samar lalu berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah pria itu. Hingga ia berdiri tepat di hadapan nya dan tangan nya terangkat untuk memeluk lehernya.

Thomas memejamkan mata nya. Kenapa dia selalu lemah di hadapan perempuan ini.

"Hari dimana kau bertemu dengan George," Adeline bersuara lembut, "Aku pulang larut. Itu karna aku menemui mereka, membuat penawaran tinggi agar mereka membatalkan rencana pembunuhan Josh Solo."

vacuousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang