Police

216 29 4
                                    

Adeline masuk ke dalam kantor nya dan terdiam saat melihat pria berambut pirang bermanik biru duduk di kursi tamu setengah membelakangi nya. Adeline menarik napas lalu melanjutkan langkahnya, "Apa yang kau lakukan di sini?"

Goerge memandangi perempuan yang berjalan melewati nya hingga sampai di balik meja kerja nya. "Well," Goerge menghadapnya, "Kita kolega, bukan?"

Adeline menatap pria itu sedikit jengah lalu duduk di kursi kekuasaan nya, "Aku tidak punya waktu untuk basa-basi mu yang basi."

"Aku juga tidak punya banyak waktu untuk permainan mu yang membosankan, Adeline." Balas George yang membuat Adeline menarik perhatian nya dari kertas di atas meja. George meraih meja dan melipat kedua tangan nya di sana, "Kau membuang-buang waktu."

"Aku perlu tarik-ulur." tekan Adeline dengan sorot pandang yang dingin.

"Sudah satu bulan dan harusnya ini cukup." Tekanan Goerge tak mau kalah.

Adeline diam sejenak menelisik ke arah lawan bicara nya. Kening nya berkerut. "Kau di sini untuk mendukung ku, bukan?"

"Yes." balas nya cepat.

"Lalu kenapa surat itu ada di tangan Thomas?"

Pertanyaan Adeline sukses membuat pria di hadapaj nya terdiam. Seakan lidah nya kelu untuk menjawab menghasilkan keheningan yang membuat sudut kanan bibir Adeline sedikit tertarik.

George membuang tatapan nya seraya bersandar di punggung kursi, "Kau mencintai nya?"

Adeline diam mendapatkan pertanyaan itu dan keterdiaman nya menarik perhatian George untuk kembali menatapnya.

Adeline menaikkan kedua bahu nya, "Dia suami ku."

"Jangan bodoh," George tertawa renyah, "Kau rela mempertaruhkan reputasi politik Ayah mu agar dia menikahkan mu dengan nya demi ambisi mu itu."

"Sejak menikah dengan nya, apa kau sudah melupakan ambisi mu, Adeline?" Tanya George sambil menatapnya penuh penuntutan.

"Tidak," Adeline mengeraskan rahang nya. "Aku tidak akan melupakan ambisi ku."

George diam, ia menelisik netra itu untuk menemukan setitik kebohongan namun tidak ada, "Aku hanya memperingati nya," George berdiri dari duduk nya. "Bahwa istri nya sangat berbahaya."

Adeline memandangi punggung George yang berjalan menuju pintu keluar, "Dia sudah tahu itu."

George meraih pintu dan setengah berbalik menatap Adeline yang masih duduk di kursi kekuasaan nya. Dia diam untuk waktu yang cukup lama, "Aku ada di sini sekarang untuk mendukung mu, Adeline." George mengalihkan mata nya dari lantai ke netra biru perempuan itu dan ujung bibir nya tertarik sedikit, "Jangan lupakan perjuangan kita."

Setelah nya, George melangkah keluar dan menutup pintu. Adeline diam di tempat namun tangan nya terkepal keras hingga memutih, bahkan rasa nya kuku nya sudah menancap di jaringan kulit tangan nya.

"Fuck." Adeline memaki sambil meraih kepala nya yang tiba-tiba terasa pusing.

*.*.*.*.*.

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
vacuousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang