"karena lo cuma satu jadi harus dijaga" - Melvin
"nantang dirusak lo?" - Haekal
"lo kalau mau nakal, juga harus dibimbing" - Jaevan
"ck!" - Chandra
"biarin kita brengsek, yang penting lo nggak" - Jenan
"lo boleh ngapain aja, asal jujur" - Raja
"mau...
i'm not the one, but i'm the one will be your regretless
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
────୨ৎ────
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haekal memasuki pintu utam dengan wajah bak mega mendung begitu kelam, tangannya membawa satu buah amplop coklat besar, persis seperti apa yang pernah ia lihat beberapa bulan silam.
"Bajingan!"
Melvin dan Jaevan bergegas turun, Jesa dan Raja keluar dari kamarnya, mereka seketika mengerubungi Haekal yang berteriak marah di ruang tengah.
"Kali ini gue udah gak bisa sabar Mel! Lo lihat tuh!"
Haekal memberikan amplop besar itu kasar, Melvin mengernyit pada penerima yang bertuliskan nama Haekal, tetapi aneh alamatnya ditujukan di—
"Kantor bokap lo?"
"Kalau gak karena sekertaris bokap gue yang nerima udah gak mungkin berdiri di hadapan lo semua"
Raja membelalak buru-buru ia mengambil amplop itu dari Melvin dan mengeluarkan isinya, "oh, shit"
Dokumen lengkap yang berisikan foto Haekal malam itu, USG janin dalam gambar 8 minggu, 20 minggu dan terbaru 25 minggu. Pun kertas DNA yang dikeluarkan oleh salah satu rumah sakit Singapura, menyatakan bahwa Haekal adalah ayah biologis dari anak yang dikandung oleh perempuan yang sampai sekarang tidak diketahui siapa.
"Sebenarnya mau mereka apa sih?" tanya Jaevan
Haekal terduduk frustasi, menarik rambutnya frustasi, "Gue sampai sekarang gak tau, apa yang cewe itu mau"
"Lo masih gak ada clue?" Jesa ikut tertarik
Haekal terdiam, matanya memicing tajam, "Rey! Bangsat! Gue harus nemuin Rey sekarang!"
"Wey wey wey, Kal, tahan, yang ada lo gali kubur kalau nemuin Rey tanpa plan" Melvin menahan Haekal sebelum laki-laki itu benar-benar beranjak.
"Terus gue harus diem aja? Ini udah kelewatan Mel! Dia berani ngirim ini ke kantor Papa! Lo tau kalau sampe dia tahu, Bunda—Argh!"