28. Tidak Pernah Selesai

111 17 0
                                    

"Mau gue comblangin sama temen gue gak, La?"

Pagi Sabtu itu, tiga hari setelah Ujian Nasional, saat Kanala tengah berkutat dengan cerpen baru yang akan dikirimnya ke surat kabar, Gentari datang dengan penawaran aneh dan sedikit tidak masuk akal.

"Comblangin?" sahut Kanala keheranan. Gadis itu menutup laptopnya.

"Ayolah, La! Toh, bentar lagi kita tamat SMA. Lo udah ngejalanin masa yang seharusnya paling bahagia dengan suram," ujar Gentari.

"Aku baik-baik aja."

Namun, sahabatnya itu bersikukuh. "Lo juga punya hak buat jatuh cinta lagi," katanya.

Andai Kanala bisa, Kanala pasti melakukannya tak lama setelah Benua menghilang dari hidupnya. Namun, karena Kanala sedang tak ingin berdebat dan mengulik lukanya sendiri, Kanala diam saja. Gadis itu malah menghampiri rak bukunya dan menyusunnya ulang.

"La, dengerin gue dulu," rengek Gentari yang setia duduk di sofa dekat jendela.

"Aku gak punya waktu buat hal-hal kayak gitu, Ri," tolak Kanala.

"Lo lebih punya banyak waktu daripada gue, tau! Lo kan gak belajar lagi buat daftar kuliah. Lo udah keterima. Lo bisa nyantai selagi nunggu jadwal masuk kuliah. Waktu itu bisa lo manfaatin buat jalan sama seseorang."

"Ri, udah deh!"

Gentari hening. Keheningan itu membawa Kanala berbalik sebab tidak biasanya sahabatnya itu menyerah dengan mudah. Namun, Kanala malah mendapati wajah tertekuk Gentari.

"Kenapa?" tanya Kanala.

"Benua, kan?" tudingnya.

"Hah?"

"Cowok sialan itu kan yang buat lo gak mau buka hati lagi? Gara-gara dia hidup lo jadi berantakan. Setelah buat lo jatuh cinta, dia ngilang seenak jidat." Gentari berseru murka. "Gue udah janji bakal nonjok dia duluan kalau sampai dia nyakitin elo. Sialnya, gue bahkan gak bisa ngelakuin itu karena orangnya gak ada."

Kanala melempar pandangan ke dinding penuh stiker di depan meja belajarnya. Kertas kuning itu masih ada di sana. Untuk pertama kali, Kanala mengakui apa yang menyiksa hatinya setiap hari. "Aku merasa ada yang belum selesai antara aku dan Benua, Ri."

"Itu cuma perasaan lo!" sergah Gentari. "Mau sampai kapan lo kayak gini?"

"Seenggaknya sampai aku merasa kami udah selesai."

"Apanya yang selesai? Kalian bahkan gak memulai apapun."

Telak. Kanala menelan salivanya dengan getir yang hebat.

"Bodoh tau gak, La. Lo uring-uringan di sini, hidup lo berantakan, sedangkan di sana Benua mungkin lagi senang-senang. Dia mungkin lagi menikmati hidupnya. Dia baik-baik aja meski lo gak ada. Kalau ada yang perlu disalahin atas keadaan lo sekarang, itu bukan Benua. Tapi lo. Diri lo sendiri yang gak bisa lepas dari bayang-bayang Benua."

Karena ini bukan kali pertama, menelan semua tudingan Gentari jadi jauh lebih mudah. Kanala mencoba abai dan fokus kepada buku-bukunya lagi. Namun, Gentari malah terisak di belakang tubuhnya. Tergopoh, Kanala menghampirinya.

"Aku gak sih yang harus nangis?" tanya Kanala memegangi lengannya.

Gentari mengangkat kepala. Wajahnya sembab. "Gue ngelakuin ini... supaya lo... lo ada temennya, La. Supaya... ada yang mau dengerin lo. Ada yang dukung mimpi-mimpi lo. Ada... ada yang tiap saat di samping lo... waktu lo gak baik-baik aja," ujar gadis itu tersedu.

Kanala tidak mengerti. "Kenapa sih, Ri? Kan ada kamu."

Tangis Gentari semakin pecah. Gadis itu meraung-raung seperti Gentari kecil yang bola miliknya dilempar Janu ke dalam parit.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang