11. Askara Birru

124 18 0
                                    

Bagi Kanala, menunggu bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Kanala sudah sering melakukannya dan diam-diam menikmatinya.

Misalnya, kegiatan menunggu Pandu setiap pagi. Karena mereka biasa berangkat bersama dan Pandu selalu bersiap lebih lama darinya--Pandu memiliki kebiasaan membaca koran dulu setiap pagi--Kanala akan menghabiskan waktu menunggunya dengan membantu Dayita membersihkan meja makan.

Kanala juga begitu ketika menunggu Pandu menjemputnya sepulang sekolah. Kanala akan menyibukkan diri memandangi lalu-lalang kendaraan, langit sore Jakarta, pengguna trotoar, atau hanya sepatu hitamnya yang beradu.

Entah apapun caranya, Kanala selalu menjadikan kegiataan menunggu sebagai waktu yang tidak membosankan.

Pun dengan sore ini di klub ekonomi. Kanala sudah datang sejak setengah jam yang lalu dan gadis itu membunuh kebosanannya dengan membaca ulang materi yang diberikan Bu Arnida tadi pagi. Sore ini, meski tidak ada jadwal belajar di klub, Kanala berjanji akan bertemu dengan Gema. Gema pula berjanji akan mengenalkannya dengan Askara Birru, pemenang olimpiade ekonomi dua tahun lalu yang berteman akrab dengan Gema.

Darinya, Kanala butuh sedikit tambahan materi—lebih baik lagi jika Askara Birru mau membagi bocoran soal-soal seperti apa saja yang masuk di olimpiade—dan buku-buku jika ada.

"Nala!"

Merasa terpanggil, Kanala mengangkat kepala dari bukunya. Gadis itu tersenyum sedikit menyambut Gema dan teman cowoknya, Askara Birru.

Dari penilaian seadanya Kanala, Askara Birru tidak tampak seperti cowok-cowok penggemar perpustakaan lainnya. Kanala mengira akan bertemu cowok berkacamata tebal, bersorot dingin, dan rapi dengan kemeja yang dimasukkan ke celana.

Nyatanya, Askara Birru jauh dari itu. Cowok itu memiliki rambut ikal berwarna kelam. Bajunya dikeluarkan dan dilapisi dengan jaket hitam dengan sedikit garis merah di lengannya. Ransel hitamnya tersampir di sebelah bahu. Dan, saat dia balas tersenyum menyapa, matanya tampak mengecil.

"La, ini Askar yang gue ceritain ke elo," kata Gema menepuk bahu teman cowoknya itu.

Kanala menunduk sedikit. Mengulurkan tangan untuk berkenalan. "Kanala, Kak," ujarnya.

Teman cowok Gema menyambutnya dengan hangat. "Askara Birru. Panggil Askar aja," balasnya yang diangguki Kanala dengan sopan.

"Gue gak tahu kalian juga dekat," celetuk Askar tiba-tiba. Kanala tidak jadi membuka bukunya. "Gue kira lo lagi PDKT sama... siapa tuh namanya yang rambut panjang? Dea, ya?"

"Deria!" serobot Gema. "Ngada-ngada lo, Kar. Kanala ini junior gue. Anaknya gampang diatur, makanya gue mau nolongin."

Askar mangut-mangut dengan tampang mengejek. Sementara Kanala menggaruk-garuk pelipisnya bingung. Hubungannya dengan Gema memang seperti itu. Meski sering membentak-bentaknya, Gema adalah seniornya yang paling peduli, terlepas karena Kanala adalah sahabat Deria.

Cowok itu tidak pernah menolak menampung keluh kesah sampah junior-juniornya. Dia juga cakap memahami keadaan junior-juniornya—entah itu semacam bakat atau kemampuan spiritual, Kanala tidak terlalu tahu. Bagaimana Kanala bisa bertemu Askara Birru sore ini termasuk bagian dari kecakapan Gema memahami junior-juniornya.

"Lo lagi mikirin sesuatu? Muka lo udah kayak rumus-rumus matematika gue lihat," kata Gema beberapa hari lalu saat mereka latihan pramuka yang menjadi cikal bakal pertemuan mereka hari ini.

Tidak heran jika akhirnya Deria jatuh cinta padanya.

"Kak Askar beneran ikut olimpiade dua tahun lalu?" celetuk Kanala memulai obrolan. Dia tidak begitu cakap dalam hal berbasa-basi.

Askar tertawa pendek. "Gema cerita apa aja ke elo? Yang bagus-bagus doang?"

"Gue juga cerita ke dia kalau lo suka molor di kelas. Gak usah khawatir," sahut Gema santai. Cowok itu berkutat dengan komik-entah-apa di tangannya.

"Gak usah dengerin Gema." Askar mengibaskan tangannya. "Jadi, lo mau tahu apa aja dari gue?" tanyanya kemudian.

Cepat Kanala menyodorkan buku catatannya. "Saya gak begitu paham tentang materi ini, Kak. Kakak bisa jelasin lebih mudahnya gak? Sama ada beberapa yang saya gak paham juga di sini. Kalau Kakak punya buku referensi, saya mau minjem boleh?" runtut Kanala.

Askara mengangkat tangan. "Woah, satu-satu, dong!" serunya terkekeh pelan. "Gue jelasin ini nanti. Gampang kok. Kalau soal buku, ada beberapa yang gue pake buat belajar. Ntar gue kasih ke elo buat tambahan."

Kanala mengiyakan dengan terima kasih. Setelahnya, Askara benar-benar menjelaskan materi yang dibutuhkan Kanala. Cowok itu juga berbagi tips menjawab soal, memecahkan soal-soal menghitung dengan mudah, serta seperti yang diharapkan Kanala, Askara juga memberinya kisi-kisi soal apa saja yang biasa masuk di olimpiade.

"Besok kalau gue gak lupa, gue bawa bukunya," tutup Askara.

Bimbingan belajar singkat itu sudah selesai. Gema pamit pulang lebih dulu, dan menitipkan Kanala pada Askara—Kanala mati-matian menolak dengan dalih dia bisa menunggu sendiri meski langit sudah hampir gelap, tetapi Gema bersikeras.

"Udah, lo tenang aja. Walau keliatannya agak brengsek, Askar bisa dipercaya, kok. Kalau lo kenapa-kenapa, gue duluan yang bakal nonjok mukanya. Bahaya kalau lo nunggu sendirian, udah mau maghrib," pesan Gema sebelum meninggalkan mereka tadi.

"Sekali lagi makasih, Kak. Kakak udah banyak bantu," sahut Kanala. Gadis itu mendekap erat buku-bukunya.

"Biasa aja. Gue gak ngelakuin banyak, kok. Lagian toh, kalau lo berhasil, lo bakal bawa nama sekolah," sahut Askara.

"Iya, Kak." Kanala tidak tahu harus menjawab apa.

Askara menoleh padanya. Mengamatinya sebentar. "Ngomong-ngomong, lo yang bawa baki pas acara harlah, 'kan? Gema gak cerita ini, tapi kayaknya mirip elo, deh."

Kanala menyengir kecil. "Iya, Kak. Itu saya."

"Keren banget lo! Salut gue. Jarang-jarang pramuka Darmawangsa ngasih kesempatan ke junior buat hal-hal sepenting itu."

"Awalnya saya juga nggak nyangka bisa kepilih, Kak. Rasanya baru kemarin gabung, kok udah ditugaskan ke acara penting."

Obrolan mereka mengalir baik. Kanala yang biasanya sedikit bicara, kaku, dan dingin, berkat Askara yang banyak bicara, jadi tertular. Hingga petang hampir beranjak dan mobil abu Pandu terlihat di kejauhan.

Sebelum pulang, Kanala mengucapkan banyak terima kasih. Namun, balasan Askara Birru benar-benar di luar dugaan.

"Tapi ini gak gratis loh, Nala."

***

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang