41. Mengulang Kenangan

91 15 0
                                    

Pertengahan tahun di Jakarta, 2014.

Perasaan ini, Kanala mengenalinya dengan sangat baik. Rasanya seperti kembali pada usia enam belas. Perasaan tak sabar yang membuat pacu jantungnya bertambah, perutnya bergejolak seolah di dalam sana ada jutaan kupu-kupu yang terbang secara liar, serta--kalau bisa melihat bola matanya tanpa perantara kaca--Kanala yakin matanya berbinar.

Kanala melipat bibirnya, menarik nafas sebelum mengembuskannya pelan dan dalam. Meski telapak tangannya tidak berkeringat, gadis itu setia menggenggam tisu. Mengepalkannya. Matanya liar ke seluruh sudut jalan mencari seseorang yang ditunggunya sejak sepuluh menit lalu.

Ponsel Kanala di dalam sling bag bergetar. Lekas Kanala mengambilnya, tertegun sesaat saat mendapati nama 'Mama' tertera di layar--bukan Benua.

"Kenapa, Ma?" tanya Kanala usai menjawab salam Dayita.

"Lagi di rumah?" Suara Dayita di seberang terdengar tenang. Tidak ada yang mendesak. Barangkali, mamanya itu menelepon hanya untuk menagih kabar Kanala.

"Di luar, Ma. Baru aja pergi. Lagi nunggu temen," jawab Kanala. Bola matanya masih bergerak ke sana ke mari.

"Temen siapa? Gentari?"

Kanala menipiskan bibir sesaat. Hatinya terasa. Berbunga. "Mama inget temen Nala waktu SMA yang pernah dateng ke rumah?" tanyanya.

"Yang mana? Kamu bawa banyak temen ke rumah kalau lagi kerja kelompok."

"Yang cowok, Ma. Yang sering dateng sendiri. Yang suka ngobrol sama Mama." Tak sengaja, di seberang jalan, Kanala menangkap sosok yang ditunggunya sejak tadi. Pria itu melambaikan tangan ke arahnya.

"Ah, itu! Yang ada di buku kamu, kan?"

Kanala mengangguk. Tersenyum penuh. "Iya, Ma," sahut Kanala. Dalam hati, gadis itu menambahkan, seseorang yang namanya dia abadikan dalam buku, sekarang akan mengulang kenangan yang tak hapus dalam benak Kanala.

***

Matahari tepat di atas kepala saat Kanala dan Benua turun di depan toko buku loak langganan Benua semasa sekolah dulu. Toko buku loak langganan Benua itu terletak di tepi jalan, berupa toko kecil sederhana yang siang ini tidak begitu ramai--barangkali karena sedang dalam masa liburan. Seorang pria berusia lanjut berdiri, agak membungkuk,  menyusun buku-buku. Sementara pria lain yang lebih muda darinya melayani beberapa pengunjung toko.

"Siang, Pak Yatno!" sapa Benua ramah.

Pria tua yang awalnya memunggungi mereka, berbalik. Matanya menyipit di balik kacamata berbingkai hitam itu. Lalu, melebar dan hidup sesaat setelah menyadari siapa yang menyapanya.

"Ben!" Pria yang ditaksir Kanala berumur awal enam puluhan itu bergerak cepat di antara tumpukan buku, lalu memeluk Benua hangat sembari menepuk-nepuk punggung pria itu layaknya bapak pada anaknya yang sudah lama tidak bertemu.

"Ke mana aja kamu? Udah lama banget loh, bapak gak ketemu kamu. Kirain kamu udah lupa sama bapak," ujar pria tua itu. "Ayo, ayo! Duduk dulu!"

Benua menoleh pada Kanala. Lewat matanya, pria itu meminta Kanala ikut ke dalam toko. Aroma buku lama sontak menyeruak. Pak Yatno mengajak keduanya duduk di kursi kayu dengan meja kecil di tengah.

"Bapak gak punya apa-apa nih, di toko. Mas Ben ngagetin sih datengnya. Lama gak ketemu, eh mendadak udah di depan toko aja," cerita Pak Yatno ramah.

"Ah, nggak usah repot-repot, Pak. Bapak kayak sama siapa aja," sahut Benua.

Pal Yatno menghela nafas besar. "Kamu nih ya, Ben. Masih gak berubah," katanya yang disambut Benua dengan kekehan kecil. "Ngomong-ngomong, ini siapa? Pacarmu Ben?"

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang