Tatapan terkejut sekaligus heran Deria mengiringi Kanala selama gadis itu menguncir rambut sepunggung bergelombang miliknya. Di tubuhnya, sudah melekat celana training hitam dan kaos olahraga sekolah.
"La, lo berubah pikiran?" tanya Deria.
Toilet wanita SMA Darmawangsa yang sepi sepulang sekolah begini memudahkan dua sahabat itu bertukar kata.
"Iya," sahut Kanala mantap. Rambutnya sukses terkuncir rapi.
Deria tidak banyak bertanya. Gadis itu hanya menepuk-nepuk bahunya dengan bangga sebelum masuk ke salah satu bilik toilet untuk berganti pakaian. Sementara itu, Kanala menatap pantulan dirinya di cermin westafel dengan debar jantung yang masih meletup-letup.
"Jangan mundur, La! Jangan pernah!" batinnya. Tidak peduli apa alasannya masuk ekstrakurikuler pramuka waktu itu, sesuatu yang dia mulai, harus dia selesaikan sampai akhir.
Deria muncul dari bilik toilet tak lama setelahnya, lengkap dengan pakaian olahraga SMA Darmawangsa. Rambut panjangnya dicepol tinggi. "Panas banget di luar. Semoga yang ngelatih hari ini bukan Kak Danang, deh," celetuknya.
Kanala mengaamiini. Sebab, hanya ada satu orang yang ingin Kanala temui di lapangan hari ini.
Benua Kalundra.
***
Resiko dari keinginannya adalah tatapan penuh selidik dari hampir seluruh pasang mata di lapangan. Baik itu senior-senior pramuka, rekan sesama junior, bahkan Kak Fauzan, pembinanya.
Ini bukan perasaan yang asing. Sama seperti kala Kanala berjalan di koridor di tahun terakhir masa SMP-nya, di lapangan Kanala tetap mengepalkan tangan, menggigit bibir bawah, dan mengatur nafas sebaik mungkin.
Hanya saja, Benua yang kini berdiri di hadapannya bukanlah Galen yang diam-diam membicarakannya di belakang. Benua yang kini di depannya bukanlah Galen yang diam-diam memanfaatkan keberadaannya.
Karena itu segala keresahan Kanala menguap. Terlepas dari perasaannya pada cowok itu, setidaknya Kanala memilikinya-dukungan. Ada seseorang yang kini memihaknya. Dan, kabar baiknya orang itu Benua Kalundra.
"Aku dukung kamu sepenuhnya, La," ulang Benua dengan suara rendah. Cowok itu tersenyum.
Kanala mengangguk yakin. Melepaskan nafas besar sebelum memosisikan diri dalam posisi siap.
Sembilan orang yang akan menjadi barisan pertama sekaligus pengiring pembawa baki dalam acara hari jadi Darmawangsa pekan depan sudah berdiri di posisi masing-masing. Kanala berdiri di tengah barisan paling depan. Di kiri kanannya berdiri Ranggi dan Mahija. Sementara posisi tepat di belakangnya kosong, posisi kiri kanannya diisi Deria dan Risva. Lalu barisan paling belakang ditempati Sandra, Rendra, dan Khalib.
Latihan dimulai. Meski panas matahari pukul tiga sore tengah ganas-ganasnya, kedelapan anggota pramuka itu tetap berlatih dengan penuh semangat. Beruntung, harapan Kanala terwujud. Bukan Gema atau Danang yang melatih mereka, melainkan Benua. Jika saja Gema atau Danang, mereka pasti tidak akan bisa setenang sekarang.
Akhir dari latihan sore itu, mereka diistirahatkan di depan tiang bendera selagi mendengar arahan dari Gema. Wajah Kanala sudah berpeluh. Merah padam. Keningnya mengernyit, tetapi tak berefek banyak untuk menghalau sinar matahari yang menusuk-nusuk. Kanala bahkan tidak begitu mendengar keseluruhan isi arahan Gema.
"Waktunya udah tinggal seminggu. Kakak harap kalian bisa latihan maksimal. Jangan kebanyakan main-main," tutup Gema. Tatapan tajam cowok itu terarah pada Kanala. "Khusus kamu, Kanala, fokus! Jangan dengerin sekeliling! Posisi kamu paling penting di sini."
"Siap, Kak!" sahut Kanala cepat. Anak-anak rambutnya yang terlepas dari kunciran, basah.
Usai arahan dari Gema, barisan kembali diambil alih oleh Benua. Cowok itu menatap adik-adik kelasnya dengan tatapan jahil. Dalam hati, Kanala berdecak. Wajah-wajah kelelahan mereka pasti jadi sasaran tawa cowok itu.
Lalu tiba-tiba, Benua maju beberapa langkah hingga posisinya tepat berada di depan Kanala. Kanala meneguk saliva. Gugup. Persetan dengan wajah kucelnya saat ini. Kanala lebih khawatir tanggapan teman-temannya terhadap aksi Benua kali ini.
"Muka kamu merah banget, La," ujar cowok itu pelan. Tidak hanya itu, Benua juga mengelap peluh di sepanjang kening hingga pelipis Kanala dengan lengan baju olahraganya.
Sial.
Jantung Kanala seperti meledak di tempat. Perutnya bergejolak. Namun, Kanala malah mematung. Bahkan setelah Benua menarik tangannya kembali pun, Kanala masih belum menemukan kesadarannya yang entah tercecer di mana.
"Jangan ngelamun!" sentak Benua. Kanala mengedip, refleks mengelus dada.
Sial. Memalukan sekali.
Hingga barisan dibubarkan, Kanala masih belum dapat meredakan debar jantungnya. Saat pertama kali Kanala terjebak dalam iris cokelat terang yang menyala itu, saat pertama kali Kanala jatuh, Kanala tak berharap Benua akan menyambutnya. Namun, jika situasinya begini, Kanala harus bagaimana?
***
"Lo suka Kak Benua, La?"
Jika saja Kanala bisa bicara baik-baik dengan setiap mineral yang dia masukkan ke tubuhnya, Kanala akan berpesan, 'lewatilah kerongkongan dengan baik. Tutup mata tutup telinga. Jangan sampai terkejut dan lompat-lompat, apalagi salah sasaran sampai nyangkut ke hidung'.
Karena sepertinya, orang-orang di sekitarnya senang sekali membuatnya tersedak.
Parahnya, kali ini Deria hanya memandanginya tanpa menawarkan sedikitpun air. Beruntung Kanala punya air mineral miliknya sendiri yang masih tersisa sedikit.
"Apa sih, De? Kok nanya gitu?" tanyanya.
Deria bersidekap. Menatapnya curiga. "Atau... Kak Benua yang sama suka sama lo?"
"Nggaklah, mana ada," sangkal Kanala. Gadis itu mengibaskan tangan. Latihan mereka sore ini baru saja usai. Wajahnya merah dan berpeluh. Belum lagi tubuhnya yang terasa lengket. Kanala sungguh belum siap ditodong pertanyaan-pertanyaan ini. Dia ingin segera pulang dan istirahat.
Namun, Deria masih menahannya. "Ada yang beda dari perlakuannya ke elo, La. Gak kayak ke kita-kita. Apaan coba tadi? Ngelapin keringat segala. Gue udah curiga ada sesuatu sama dia waktu dia nyamperin lo sok akrab, pake ngelus-ngelus kepala lagi."
Kanala memejam sesaat. Haruskah Deria menjelaskannya lagi dengan begitu frontal?
"La!" Kali ini, Deria berseru tegas. Sosok Benua baru saja lewat di depan mereka dan gadis itu lantas berbalik, seolah menyembunyikan Kanala dari pandangan Benua. "Lo boleh kok, suka sama siapa aja. Tapi jangan dia. Jangan Benua, oke? Dia gak sebaik dan semanis yang lo lihat. Dia predator. Meskipun mungkin 70 persen cewek di Darmawangsa adalah pemujanya, 30 persennya lagi pasti pembencinya. Percaya sama gue."
Kanala tidak menyahut. Tidak bisa tepatnya. Padahal, dia bisa saja sekadar mengiyakan. Toh, dari awal juga Kanala tidak berencana jatuh cinta pada cowok yang sudah terkenal buruknya.
Hanya saja, ini sudah terlalu jauh. Benua Kalundra menyentuh sesuatu yang terpendam dalam dirinya, dan menghidupkannya kembali.
Dari balik bahu Deria, Kanala memandang Benua yang tengah tertawa lepas bersama senior-seniornya yang lain. Bagaimana mungkin cowok itu disebut bahaya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Djakarta, Pukul 11.11
Novela Juvenil#1 poem (03/09/24) Kanala Btari Sora tidak pernah berencana menyatakan perasaannya pada Benua Kalundra, si kakak kelas populer yang menjungkirbalikkan idealismenya hanya lewat uluran tangan. Bagi Kanala, menikmati hubungan tak bernama itu lebih baik...