17. Rumah Kasih Putih

126 17 0
                                    

"Kenapa kamu suka menulis, La?"

Benua mempertanyakannya saat mereka di jalan tadi. Suara bising kendaraan, angin yang menderu, ditambah helm yang menutup kepala membuat Kanala mengurungkan jawabannya.

Gadis itu baru memberi jawabannya saat mereka tiba di sini; di sebuah kampung di pinggiran Jakarta. Di tempat asing yang jauh dari keramaian kota. Kanala sempat berpikir bahwa sebenarnya Benua membawanya keluar dari Jakarta.

"Kata-kata itu punya jiwa, Kak Nu. Dan bahasa adalah karya agung yang dibuat manusia." Begitu jawaban Kanala sembari menyusuri jalan setapak yang entah membawa mereka ke mana.

"Setiap kali membaca atau menulis, aku merasa mereka hidup, punya nyawa. Orang-orang dalam cerita itu nyata. Bahkan kalau sedang membaca, aku berasa lagi ngobrol sama penulis cerita itu," imbuhnya dengan kekehan pendek.

Benua menoleh sesaat sebelum mendengus geli. "Kamu banget, La," sahutnya.

Sampai di sini, Kanala masih belum mengerti sepenuhnya dirinya merupakan sosok seperti apa. Namun, Benua seolah-olah sudah mengenalnya sejak lahir hingga sering kali mengatakan 'kamu banget, La'. Anehnya, Kanala menyukainya. Kanala merasa dimengerti.

"Ini sebenarnya kita mau ke mana sih, Kak?" tanya Kanala.

Sudah lima belas menit mereka berjalan di jalan setapak itu. Motor Benua sendiri dia titipkan di salah satu rumah warga yang mereka lewati tadi--Kanala yakin, mereka mengenal cukup baik, Benua diperlakukan seperti anak sendiri.

"Ke Kasih Putih."

"Kekasih putih?"

Benua menghentikan langkahnya sejenak. Menunduk menatap tepat ke manik mata Kanala. "Ke Kasih Putih," ulangnya.

"Itu tempat?" sambut Kanala.

"Rumah buat anak-anak yang gak mampu sekolah. Di Kasih Putih mereka belajar banyak hal. Sama kayak di sekolah."

Kanala mangut-mangut. Bentuknya pasti seperti sekolah-sekolah kampung yang selama ini hanya dia temui dari buku. "Kak Nu relawan? Atau pengajar di sana?" tanyanya.

Jalan setapak yang mereka lalui sudah memendek.

"Aku cuma orang biasa yang menyukai semangat mereka, La. Dua kali sebulan aku selalu ke sini buat berbagi barang-barang yang gak seberapa, tapi semoga bisa bermanfaat buat mereka."

"Loh, sekarang gimana? Kita gak bawa apa-apa. Kak Nu juga gak bilang mau ke sini, sih."

"Aku bawa kamu, La."

Meninggalkan Kanala yang tercenung setelah perkataannya, Benua melambaikan tangan pada anak-anak yang terlihat mengerumun dari jauh. Lalu, kerumunan itu mekar. Mereka bersorak, melambai girang ke arah Benua.

Sementara itu, Kanala masih di belakang.

Setelah Eyang Uti yang membuka kelas menenun di gazebo belakang rumah, ini pemandangan indah kedua buatan manusia yang pernah Kanala temui. Punggung berbalut kemeja biru yang bergerak menjauh, riuh anak-anak kampung yang melambai, latar bangunan yang sudah roboh dan kursi-kursi kayu, seorang wanita setengah baya di antara mereka, langit biru, dan lagu-lagu damai yang seperti terputar otomatis di kepalanya.

Indah.

Ditambah senyum merekah Benua yang berbalik ke arahnya, memintanya mendekat, pemandangan itu terlihat sempurna. Benua, si cowok brengsek yang semua orang ingin Kanala menjauhinya, menyatu dengan keindahan itu.

"Kanala!"

Teriakan Benua menyentak kesadaran Kanala. Dengan senyum yang tersungging kaku, gadis itu berlari kecil menghampirinya.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang