12. Kertas Warna Kuning

135 19 0
                                    

Ternyata, menyibukkan diri juga sebuah masalah. Gentari ngambek dan enggan bicara padanya. Enggan mendengarkan keluh kesah sampahnya. Bagaimana tidak? Gentari datang pagi-pagi sekali untuk menunaikan janji Kanala bersepeda bersama di sekitar komplek. Namun, Kanala ditemui dalam keadaan bergelung dalam selimut.

Kata Dayita, dia baru tidur setelah subuh, setelah berkutat dengan buku tebal apalah sepanjang malam.

Gentari mendumel. Terlebih-lebih karena sahabatnya sejak masih ingusan itu tahu bahwa dia dijadikan korban atas perasaan tak karuan Kanala yang berlarut-larut; yang butuh pelarian semacam seleksi olimpiade ini.

"Gue tahu ini kesempatan besar lo. Gue juga gak marah karena lo begadang semalaman buat belajar. Gue marah karena lo seolah gak peduli diri lo sendiri. Lo jadiin semua pelampiasan. Lo bilang lo oke-oke aja, tapi lo kayak orang yang gak menjejak bumi," protes Gentari menyudahi tidur pagi Kanala.

Kanala tidak heran. Tidak bisa marah juga. Toh, Gentari paling tahu dirinya. Gentari seolah punya semacam alat pendeteksi yang bisa mengetahui lubuk hati terdalam Kanala. Ini aneh, tetapi begitulah yang terjadi selama belasan tahun.

Dan, karena Kanala malas berdebat dengan mengatakan Benua tidak ada hubungannya dengan segala kesibukannya akhir-akhir ini dan tidak ingin amukan Gentari berlarut-larut, Kanala tidur lebih awal malam minggunya.

Kanala melupakan buku-buku ekonomi milik Askar dan mencoba tidur dengan nyenyak. Berhasil. Kanala bangun tepat waktu. Usai melakukan rutinitas akhir pekannya yang tak banyak, Kanala lantas menuju rumah Gentari.

"Besok nge-mall yuk! Sekalian aku traktir komik," rayu Kanala kemarin.

Decakan Gentari semakin panjang. "Besok-besok gue ajari lo cara minta maaf yang bener deh, La," rutuknya. Namun, gadis itu tidak menolak.

Dasar lemah iman.

Maka, di sinilah Kanala sekarang. Di sebuah mall cukup besar di Jakarta. Bersama Gentari, tentu. Mereka sudah mengitari mall selama satu jam dan itu waktu yang sangat cukup untuk Gentari membawa tiga buah paperbag di tangannya.

Sebenarnya, Kanala tidak terlalu gemar berbelanja. Capek, katanya. Hanya saja, karena Kanala punya sahabat seperti Gentari yang memasukkan mall ke dalam daftar tempat nongkrong favoritnya, mau tak mau Kanala terbiasa. Beruntung, Gentari bukan gadis rempong yang akan menghabiskan waktu berjam-jam di mall dan pulang dengan tangan hampa.

"Abis ini mau ke mana, Ri?" tanya Kanala.

Timpang dengan Gentari, Kanala pulang dengan tangan kosong. Gentari sempat menawarkan beberapa buku, tetapi Kanala menolak. Masih banyak buku di lemarinya yang belum tersentuh.

"Makan dulu gimana? Lo belum makan siang, 'kan?" Gentari balik bertanya.

Kanala mengiyakan saja. Kanala juga menyerahkan tempat makan kepada Gentari—selera mereka tidak jauh berbeda. Namun, Gentari menahan lengannya tepat sebelum mereka keluar mall.

"Lihat tuh, La!" Telunjuk Gentari terarah pada banner lomba yang dipajang di mall.

KOMPETISI MENULIS CERPEN NASIONAL.

"Lo gak mau ikut?" tanya Gentari.

Kanala melongos begitu saja. Namun, Gentari mendahului langkahnya dengan cepat. "Lo bisa ikutan diem-diem. Gak akan ada yang tahu juga, kan?" bujuknya.

"Kalau ketahuan Papa, aku gak tahu apa yang bakal Papa lakukan ke aku, Ri," sahut Kanala sembari masih melanjutkan langkah.

"Izin pramuka dicabut? Piagam penghargaan—semisal lo menang—dibakar? Kayaknya gak mungkin, deh. Om Pandu gak kelihatan semenyeramkan itu. Lo gak akan tahu konsekuensinya kalau lo gak nyoba."

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang