35. Sakit yang Terpendam

93 16 0
                                    

Rumah Kanala yang di Jakarta tidak dijual.

Kata Pandu, rumah itu akan jadi milik Kanala suatu saat nanti. Alasan lain mengapa rumah itu tidak dijual, Pandu ingin Kanala tetap berumah jika anak satu-satunya itu mengunjungi Jakarta. Di titik itu, Kanala meyakini bahwa Pandu memang ayah paling pengertian di dunia. Termasuk mengerti kekosongan dalam dirinya yang tidak terlihat mata siapapun selama ini.

Kanala menyibak tirai jendela di kamarnya. Cahaya pagi masuk. Suara burung, jerit anak-anak sekolah yang lewat di depan rumahnya, hingga suara penjual bubur ayam pun turut masuk. Tidak ada agenda berarti yang ingin Kanala lakukan di sini. Sama sekali.

Maka, usai membersihkan kamarnya, mandi, dan berakhir duduk di balkon kamarnya dengan seduhan teh hijau yang masih mengepul, Kanala berhenti di menyaksikan interaksi tukang gerobak sayur dengan ibu-ibu komplek. Gadis itu tersenyum sumir. Biasanya, ada Dayita di antara mereka.

Ponsel Kanala berdenting halus. Kanala melirik sekilas. Pesan dari Pandu yang menanyakan kepulangannya. Kanala tidak segera membalas. Diletakkannya cangkir teh hijaunya sebelum mengamati buku bersampul cokelat di atas meja. Buku yang Kanala kenali dengan baik. Buku yang hingga dua tahun lalu masih menyimpan semua amuk hingga lukanya. Buku yang sengaja tidak dia bawa ke Jogja agar seseorang yang tinggal di dalamnya tidak membayangi langkah Kanala.

"La, lo masih nulis puisi?"

"Masih."

"Di mana? Kok gue gak pernah liat lo nulis lagi?"

"Di Jakarta."

"Yaelah, La. Serius gue!"

Ingatan percakapan dengan Gentari membawa Kanala membuka lembar buku di depannya secara acak. Puisi berdarah dengan titimangsa yang sama di setiap lembarnya; Djakarta, Pukul 11.11.

di larik larik sajakku yang sederhana

tajuknya engkau

isinya engkau

rimanya engkau

;riuhnya aku

Djakarta, Pukul 11.11

22 Februari 2012

.

selaras dengan luka

kunanti garis semesta

meski akrab dengan kecewa dan duka

aku Tuan

tak pernah luput dari kata semoga

di sudut yang satu

yang tidak ada engkau di sana

aku dipeluk cerita-cerita lama

menyemarakkan beragam andai dalam kepala

yang semoga, tak ada habisnya

tetapi Tuan

garis semesta adalah cerita panjang tanpa jeda

ia mencipta banyak di luar duga

hingga habis sudah masa saya

untuk menunggumu lebih lama

Djakarta, Pukul 11.11

27 Des 2011

Kanala berdecih pelan. Habis masa apanya? Meski menyangkal ribuan kali, setiap kali Kanala kembali ke sini, dia akan diantar ke tempat yang sama—ke dalam kenangan antara Benua dan dirinya berada. Kanala memukul dada pelan dan berulang. Berharap sesak yang menggerogotinya enyah dari sana.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang