Rumah Kanala yang di Jakarta tidak dijual.
Kata Pandu, rumah itu akan jadi milik Kanala suatu saat nanti. Alasan lain mengapa rumah itu tidak dijual, Pandu ingin Kanala tetap berumah jika anak satu-satunya itu mengunjungi Jakarta. Di titik itu, Kanala meyakini bahwa Pandu memang ayah paling pengertian di dunia. Termasuk mengerti kekosongan dalam dirinya yang tidak terlihat mata siapapun selama ini.
Kanala menyibak tirai jendela di kamarnya. Cahaya pagi masuk. Suara burung, jerit anak-anak sekolah yang lewat di depan rumahnya, hingga suara penjual bubur ayam pun turut masuk. Tidak ada agenda berarti yang ingin Kanala lakukan di sini. Sama sekali.
Maka, usai membersihkan kamarnya, mandi, dan berakhir duduk di balkon kamarnya dengan seduhan teh hijau yang masih mengepul, Kanala berhenti di menyaksikan interaksi tukang gerobak sayur dengan ibu-ibu komplek. Gadis itu tersenyum sumir. Biasanya, ada Dayita di antara mereka.
Ponsel Kanala berdenting halus. Kanala melirik sekilas. Pesan dari Pandu yang menanyakan kepulangannya. Kanala tidak segera membalas. Diletakkannya cangkir teh hijaunya sebelum mengamati buku bersampul cokelat di atas meja. Buku yang Kanala kenali dengan baik. Buku yang hingga dua tahun lalu masih menyimpan semua amuk hingga lukanya. Buku yang sengaja tidak dia bawa ke Jogja agar seseorang yang tinggal di dalamnya tidak membayangi langkah Kanala.
"La, lo masih nulis puisi?"
"Masih."
"Di mana? Kok gue gak pernah liat lo nulis lagi?"
"Di Jakarta."
"Yaelah, La. Serius gue!"
Ingatan percakapan dengan Gentari membawa Kanala membuka lembar buku di depannya secara acak. Puisi berdarah dengan titimangsa yang sama di setiap lembarnya; Djakarta, Pukul 11.11.
di larik larik sajakku yang sederhana
tajuknya engkau
isinya engkau
rimanya engkau
;riuhnya aku
Djakarta, Pukul 11.11
22 Februari 2012
.
selaras dengan luka
kunanti garis semesta
meski akrab dengan kecewa dan duka
aku Tuan
tak pernah luput dari kata semoga
di sudut yang satu
yang tidak ada engkau di sana
aku dipeluk cerita-cerita lama
menyemarakkan beragam andai dalam kepala
yang semoga, tak ada habisnya
tetapi Tuan
garis semesta adalah cerita panjang tanpa jeda
ia mencipta banyak di luar duga
hingga habis sudah masa saya
untuk menunggumu lebih lama
Djakarta, Pukul 11.11
27 Des 2011
Kanala berdecih pelan. Habis masa apanya? Meski menyangkal ribuan kali, setiap kali Kanala kembali ke sini, dia akan diantar ke tempat yang sama—ke dalam kenangan antara Benua dan dirinya berada. Kanala memukul dada pelan dan berulang. Berharap sesak yang menggerogotinya enyah dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Djakarta, Pukul 11.11
Novela Juvenil#1 poem (03/09/24) Kanala Btari Sora tidak pernah berencana menyatakan perasaannya pada Benua Kalundra, si kakak kelas populer yang menjungkirbalikkan idealismenya hanya lewat uluran tangan. Bagi Kanala, menikmati hubungan tak bernama itu lebih baik...