27. Tentang Mimpi

106 17 0
                                    

"Karena hati yang sakit, lebih baik dari hati yang kosong."

•••

"Gue pengen jadi guru BK."

Faiza, manusia paling tenang semuka bumi, tersedak hebat. Namun, alih-alih menenangkan dirinya sendiri, gadis itu malah menepuk-nepuk punggung Naura—si pencetus keinginan menjadi guru BK—dengan sangat heboh.

"Kesurupan di mana lo? Lo aja suka bikin onar, Nau. Jangan aneh-aneh, deh!" tegurnya.

Naura meletakkan pulpennya. "Justru karena itu!" serunya bersemangat. "Akhir-akhir ini gue sering ngeliatin kelakuan temen-temen kita yang belum sepenuhnya jadi manusia ini. Mereka emang bobrok, tapi beralasan. Nah, karena itu gue mau jadi guru BK. Gue gak hanya mau negur mereka waktu salah, tapi gue juga mau dengerin apa yang sebenarnya mereka rasain. Gue mau jadi guru BK yang mengayomi siswa-siswanya."

Kelakar panjang lebar Naura mengundang decak kagum tiga orang di depannya; Faiza, Kanala, dan Indra. Ruang kelas yang sepi karena jam kosong—sebagian penghuninya melarikan diri ke kantin atau perpustakan—memudahkan mereka mengobrol.

"Mending lo jadi psikolog aja gak sih?" tanya Indra. Barangkali, cowok itu kelewat frustrasi dengan status kelas tiganya hingga memasuki lingkaran pertemanan Kanala—biasanya Tara dan Adrian juga ikut serta.

"Pasar gue tuh anak SMA, bukan masyarakat umum."

"Kalian kok udah tahu sih mau ngambil apa dan mau ke mana? Apa cuma gue yang masih luntang-lantung gini?" Indra mendesah frustrasi. "Gue bahkan gak tau loh mau ngambil jurusan apa kalau gue kuliah."

"Lo kan hobi futsal, ambil olahraga ajalah." Faiza menyahut seadanya.

"Ngambil olahraga tetap belajar matematika gak, Za?"

"Mana gue tau, elah! Emang gue udah pernah kuliah."

Indra mengacak-ngacak rambutnya. Cowok itu menangkup wajah sesaat dengan tangan sebelum tiba-tiba menoleh pada Kanala yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

"Kamu udah tahu mau ngambil apa, La?" tanyanya lembut.

Sontak, kepalanya dihadiahi jitakan keras oleh Naura. "Sumpah ya, Ndra. Gue jijik denger lo ngomong aku-kamu gitu. Kapan sih berhentinya?"

"Lo ngerusak usaha gue aja deh, Nau. Bantuin, kek, minimal. Tiga tahun Nala masih jomblo loh ini. Siapa tau kan jodohnya yang sebenernya itu gue." Indra mengomel. Perhatiannya kembali pada Kanala. "Jadi lo mau ngambil apa, La?"

"Ekonomi kayaknya," sahut Kanala.

Indra mangut-mangut. "Gak heran, sih," gumamnya. "Mau ngambil di mana, La?"

"Belum tahu. Aku masih nyari kampus yang bagus." Pandu memintanya tetap di Jakarta.

"Nala mah gampang," celetuk Naura. "Ini aja dia udah dapat jalur undangan dari dua kampus."

"Enak ya, kalau kita tahu mau jadi apa."

Kanala merenungi perkataan Indra cukup lama. Namun, Kanala tidak mengaamiininya. Sebab, ada sebagian orang yang sekalipun mereka tahu apa yang mereka inginkan, mereka tetap tidak bisa meraihnya.

***

Kanala ingat percakapannya dengan Pandu seminggu lalu. Waktu itu, di ruang tengah rumahnya denga tivi bervolume kecil, Pandu mendadak menanyakan hal yang sebenarnya tidak perlu mereka bicarakan—buang-buang waktu dan tenaga.

"Jadi, gimana soal kuliah kamu? Kamu mau ambil apa?"

"Ekonomi." Tentu saja. Sebab, itu keinginan Pandu yang tidak disuarakan pria itu.

Sebenernya Kanala bisa saja banting setir untuk mengambil sesuatu yang dia minati. Namun, Kanala takut Pandu kecewa. Kanala takut hidupnya lebih berantakan dari ini hanya karena Pandu tidak mendukungnya.

"Di mana?" tanya Pandu lagi.

Di sebelah Kanala, Dayita diam saja mengikuti interaksi ayah dan anak itu. Karena itu Kanala tidak berharap banyak.

"Aku belum mutusin mau ngambil di mana. Tapi... aku dapat jalur undangan dari UI dan... Unpad," aku Kanala. Info itu baru dia terima tiga hari lalu dari wali kelasnya.

Pandu menyahut cepat. "UI saja. Dekat. Tapi walau begitu, kamu harus tetap belajar untuk Ujian Nasional. Sudah gak lama lagi, kan?"

Kanala hanya mengangguk. Bahkan setelah Pandu dan Dayita meninggalkannya di ruang tengah, Kanala tetap tidak bersuara. Tatapannya kosong. Tidak bergairah. Hatinya tidak lagi berdenyut nyeri. Namun, itu menyakitkan. Sebab puncak dari rasa sakit adalah ketika hati tidak lagi merasakan apapun.

Kosong.

Terpaksa malam itu, lagi dan lagi, Kanala menyeduh kopi, berpuisi, dan mengacaukan jam tidurnya lagi. Di saat-saat seperti itu, Kanala berpikir barangkali hidupnya tidak akan sesulit ini jika Benua tidak menghilang. Bahkan jika hidupnya lebih sulit dari ini, setidaknya Kanala punya Benua yang akan membawanya berlari menuju rasa lapang meski hanya sebentar.

Setiap kali, di saat Kanala ingin melarikan diri dari hidupnya. Kanala berharap Benua datang bertamu, mengajaknya mengitari Jakarta menuju jalan lengang di mana Kanala bisa berteriak sepuasnya, mengusap kepalanya dan meyakinkan lagi bahwa Kanala mampu melewati badai apapun.

Atau jika semua harapan itu terlalu muluk, Kanala hanya ingin duduk di sebelahnya di dalam bus ditemani lagu Sheila on 7.

"Lalaaa!"

Kanala yang tengah terkantuk-kantuk di halte, kontan membuka mata. Kelopak matanya melebar mendapati Janu dengan vespa putihnya di seberang jalan. Setelah memutar arah, cowok itu menghampirinya.

"Motor baru?" tanya Kanala sumringah.

Janu tersenyum bangga. "Bagus kan? Bokap gue baik bener akhir-akhir ini. Gue minta dibeliin motor, dibeliin dong! Bokap lo juga baik. Gue gak tahu itu dua bersaudara kenapa," kelakarnya.

"Papa? Kenapa?" Kanala keheranan.

"Nih! Gue diizinin jemput lo."

"Emang Papa ke mana?"

"Ada urusan sama bokap gue. Tadi gue ketemu, ngeliat gue bawa motor baru, dia minta gue jemput lo."

Kanala mangut-mangut. Diterimanya begitu saja sodoran helm pink yang entah didapat Janu dari mana. Namun, kakinya terhenti sesaat sebelum menaiki vespa Janu. Lagi, ingatannya diantar jauh ke dua tahun lalu.

Halte. Di atas motor. Langit biru Jakarta. Percakapan dengan seseorang yang suaranya masih direkam Kanala dengan jelas di kepalanya.

Mendadak Kanala merasa sesak.

"La, ayo buruan! Lo nungu apa lagi?" sentak Janu.

Mau tak mau, Kanala menurut. Dua tahun. Dan, Kanala masih terjebak di perasaan-perasaan ini. Sepanjang jalan pulang itu, Kanala hanya mendengar ocehan Janu dengan pikiran melanglang buana.

Kenangan dan rindu sialan!

Kadang kala sisi buruk dalam dirinya berharap Benua juga merasakan hal yang sama. Di mana pun cowok itu berada, semoga dia merasa sesak setiap kali menarik nafas, semoga mimpi-mimpi sialan itu membangunkannya pukul setengah dua dini hari, semoga setiap saat dia dikerubungi perasaan menunggu sesuatu yang tidak jelas, disesaki perasaan tidak selesai yang menyiksa.

Semoga, selalu ada pilu yang menyayat hatinya di setiap pukul 11.11 malam hari.

Semoga, Benua juga merasakannya.

***

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang