07. Topi Boni

173 21 0
                                    

Hari jadi Yayasan Pendidikan Darmawangsa akhirnya tiba. Acara itu, tentu saja, dimeriahkan oleh seluruh warga sekolah; guru-guru, kepala sekolah tiap tingkatan, seluruh murid, tata usaha, penjaga perpustakaan, bahkan tukang kebun.

Acara akan dimulai dengan pawai yang bergerak dari aula besar Darmawangsa menuju alun-alun kota, di mana puncak acara dilakukan. Rangkaian acara berturut-turut setelahnya adalah pengibaran bendera yayasan dan pemotongan tumpeng, kata sambutan, penampilan dari setiap ekstrakurikuler, lomba-lomba, hingga bazar.

Sejak pagi Kanala sudah sibuk. Ruang sekretariat pramuka yang tak seberapa luas menjadi dua kali lebih sumpek karena delapan orang—minus pemimpin barisan—yang menjadi pembawa barisan pada pawai pagi ini keluar masuk untuk berbagai persiapan. Belum lagi para senior yang ikut keluar masuk memastikan seluruh persiapan berjalan dengan baik.

"Der, udah bener belum?" Kanala berbalik. Kedua tangannya berada di sisi kepala, memosisikan boni yang dikenakannya berada di tempat yang tepat.

Deria yang semula membelakangi Kanala, berbalik. Gadis itu menganga sesaat sebelum mengacungkan kedua jempolnya. "Cakep bener! Gak kayak Kanala!" serunya dengan iris melebar.

Kanala memutar bola mata. "Kayak kamu baru pertama kali liat aku pakai seragam lengkap aja, Der," sahut gadis itu sebelum kembali berbalik menghadap cermin.

Benar. Kanala tersenyum sedikit. Menatap pantulan dirinya dalam balutan seragam lengkap nan rapi menguatkannya; bahwa dirinya tidak seburuk itu. Balutan rok cokelat semata kaki, kemeja cokelat muda berlengan panjang dengan berbagai atribut dan lencana, hingga scarf merah putih di lehernya ini membangun setitik kepercayaan dirinya.

Suara pintu terbuka yang cukup keras membuat Kanala menoleh. Sosok Gema yang juga sudah lengkap dengan seragamnya ada di sana. "Bentar lagi turun, ya! Kita gladi sebentar di lapangan sebelum ke aula yayasan!" titahnya.

Anggota pramuka Darmawangsa yang ada di dalam ruangan kompak mengangguk. Gema berbalik, tetapi kembali menghadap pintu. "Nala mana? Tu bocah gak kabur kan?" tanyanya memindai ruangan.

Kanala yang memang berdiri menghadap cermin, di belakang rak-rak peralatan, memundurkan langkah. Gadis itu mengangkat tangan. "Di sini, Kak," ujarnya.

Seiring kepergian Gema, Kanala menghela nafas lega. Dia tidak akan lari. Dengan berani, Kanala mengambil segala apa yang mungkin akan dia hadapi nantinya.

Sebab, Kanala mengantongi kepercayaan dan dukungan seseorang bersamanya.

***

Gladi bersih baru saja usai. Namun, Kanala masih belum menemukan Benua Kalundra di antara anggota-anggota pramuka yang berbaris di lapangan. Bahkan setelah mereka digiring ke aula, Kanala masih belum menemukannya.

Padahal jujur, Kanala ingin melihatnya sebelum pawai dimulai. Kanala ingin mendengar sebatas "aku dukung kamu, La" atau "semangat, Kanala!" untuk menegapkan langkahnya; untuk menggenapkan keberaniannya.

"Lo nyari siapa?"

Pertanyaan Deria menyentak gadis itu. Lekas Kanala menggeleng. "Bukan siapa-siapa," katanya sembari menerima sodoran air mineral dari Deria.

"Acaranya bentar lagi. Siap-siap, La. Tegapin langkah lo. Lo pasti bisa," ujar Deria di sebelahnya.

Kanala mengangguk. "Kamu juga," sahutnya.

Meski di dalam sana, di hatinya, ada sesuatu yang terasa janggal. Ada sesuatu yang kosong. Kanala tidak dapat menjelaskannya dengan baik; entah itu semacam keraguan, kecemasan, atau apa. Hanya saja, Kanala yakin, melihat Benua ada akan membuatnya baik-baik saja.

Ah, apa kali ini Kanala salah lagi? Apa jatuh cintanya kali ini menjadi petaka yang lebih parah lagi?

"La, ayo baris!"

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang