45. Jawaban dari Teka-Teki

99 14 0
                                    

Kanala semakin sibuk. Formulir beasiswa itu, setelah terlipat jadi dua dan masuk ke dalam laci meja belajarnya, terlupakan begitu saja. Proposal dan skripsinya menunggu. Buku "Djakarta, Pukul 11.11" yang akan cetak ke-7 akhir bulan nanti menyita banyak waktu Kanala. Gadis itu harus bolak-bolak penerbitan, beberapa hari setiap minggu.

Waktu senggang di akhir pekan pun kini banyak berkurang karena semakin banyak acara bincang sastra atau seminar yang mengundangnya sebagai pembicara yang diadakan komunitas-komunitas pecinta buku di Jogja. Tidak lagi sebagai utusan Kosera, bincang buku dan seminar yang dihadirinya bahkan sudah banyak atas nama dirinya.

Tidak heran jika melihat keberadaan Kanala di Solo siang ini, duduk di antara para tamu dan peserta bedah buku klasik yang diadakan di salah satu kampus di Solo, tampak seperti angin segar. Tak terkecuali untuk anak-anak Kosera yang memang sudah jarang bertatap muka dengan Kanala Btari Sora, nama yang cukup melegenda di unit kegiatan kampus Kosera.

"Saya gak mungkin melewatkan kesempatan ini, Mas." Begitu kata Kanala saat Wawan menghampirinya, sedikit terkejut dengan kedatangan tiba-tibanya.

Keduanya baru duduk dan bertukar kata lagi selepas acara. Saat para tamu yang menghadiri acara bedah buku berangsur pergi. Wawan menyodorkan botol minum yang masih tersegel yang diterima Kanala dengan kekehan geli.

"Sejauh ini cuma Mas Wawan loh, yang sebegitu ingatnya saya kebiasaan saya yang sering lupa beli minum kalau pergi-pergi," tutur Kanala.

Wawan ikut duduk di sebelahnya, di pelataran gedung kampus, di antara riuh rendah suara anak-anak Kosera yang masih tinggal di sana, yang akan pulang rombongan ke Jogja. "Ucapan terima kasih kamu emang agak beda, ya, La," sahut pria berkacamata itu. "Saya agak kaget loh ngeliat kamu tiba-tiba di Solo."

"Saya lagi senggang, Mas."

"Sangat senggang sih kayaknya. Kalau nggak, rasanya nggak mungkin kamu ada di Solo sementara kamu lagi ngerjain proposal skripsi dan buku kamu juga mau cetak ulang, kan?"

Kanala mengangguk. Menelan air mineral yang baru diteguknya. "Urusan saya dengan penerbit untungnya sudah selesai, Mas. Proposal saya... saya berencana ngerjain setelah urusan buku saya selesai dulu."

Pria di sebelahnya mangut-mangut. Namun, tak lama. Setelahnya pria itu menoleh, menatapnya curiga. "Kok rasanya saya masih gak yakin ya, La?" tanyanya. "Saya kenal kamu dari masih jadi maba, loh."

Kanala meringis kecil. Sepertinya, efek dari berteman dan dekat dengan sedikit orang adalah membuka kesempatan lebih besar untuk orang-orang tersebut lebih mengenalinya. Bahkan untuk hal-hal kecil.

Namun, Kanala masih berkilah. "Mas Wawan ada-ada aja. Ini kan bukan kali pertama saya ikut kegiatan Kosera ke luar kota, Mas."

"Memang iya. Tapi beberapa bulan ini kamu bahkan gak pernah mampir ke sekret Kosera. Kalau bukan karena kamu udah senior, mungkin sudah saya coret dari daftar anggota kamu."

"Mas Wawan yakin mau nyoret saya dari anggota Kosera?" Kanala tertawa. Tawa ringan yang mengundang beberapa kepala untuk menoleh. Tawa geli yang membuat Wawan, pria pertengahan dua puluhan yang terkenal tidak bisa tertawa dan punya masalah kesabaran serius saat menghadapi anak-anak Kosera, ikut tertawa.

"Bahkan kalau kamu udah tamat dan menikah pun, saya mungkin bakal sering ngundang kamu buat hadir di acara-acara Kosera. Saya gak mau kamu besar kepala, walau kelihatannya emang sudah, tapi kamu itu termasuk bagian penting Kosera. Kosera mungkin gak akan bisa seperti sekarang kalau gak ada kamu di dalamnya."

"Biasanya kalau sudah begini, Mas Wawan ada maunya."

"Nggak loh, La. Serius saya, nih. Tapi dari yang saya lihat, bukan cuma Kosera yang berubah. Kamu juga."

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang