47. Merayakan Patah Hati

124 14 0
                                    

"Karena beberapa 'istimewa' hanya berlaku untuk beberapa rentang waktu saja."

*

Kenyataan bahwa Benua melihatnya sebagai pengganti adiknya jauh lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa pria itu tidak bisa membalas perasaannya. Lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa Benua sangat mencintai kekasihnya. Lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa Benua meninggalkan Jakarta dengan alasan tidak ada lagi alasannya menetap di sana. Lebih dan lebih menyakitkan daripada segala tentang Benua yang pernah menyakitinya.

Satu minggu penuh. Selama itu, setiap malam, Kanala bangun dengan mata sembab. Melupakan lembar-lembar skripsinya sesaat, gadis itu menangisi patah hatinya habis-habisan. Dadanya sesak. Potongan-potongan kenangan bersama pria itu berputar tanpa henti dalam kepalanya. Bahkan sampai akhir, Benua tidak melihatnya sebagai Kanala Btari Sora, sebagaimana Kanala melihatnya sebagai laki-laki yang membuatnya jatuh cinta, yang mendekatkannya pada mimpi-mimpinya.

Hanya saja, Kanala tidak ingin sehancur dulu saat Benua mendadak hilang dari Jakarta.

Kanala akui dia terluka, tetapi menangisinya berlarut-larut tidak akan mengubah keadaan sedikitpun. Kenyataannya akan tetap sama, bahwa Kanala tidak dicintai. Bahwa Kanala tidak dilihat sama sekali. Selain menyedihkan, jujur saja, hal itu membuatnya marah. Tidak hanya pada Benua, tapi juga pada dirinya sendiri, pada waktu-waktu yang dia habiskan untuk menunggu dan berharap pada satu kesempatan yang semu.

Maka meski agak kesiangan, pagi itu Kanala bangun dengan tujuan merapikan kamarnya. Kanala tidak ingin mengalihkan pikiran atau melarikan diri seperti yang sudah-sudah. Tidak akan lagi. Kanala hanya ingin terbangun dengan tujuan, harapan, sesuatu yang ingin dia lakukan, atau apapun namanya yang bukan lagi untuk Benua Kalundra, melainkan untuk dirinya sendiri.

"Ada angin apa kamu baru bangun langsung beberes kamar? Biasanya juga langsung buka laptop," celetuk Dayita saat mengintip dari balik pintu kamar.

Kanala hanya tersenyum sebelum berbalik merapikan meja belajarnya yang berantakan. "Nala cuma pengen ngelakuinnya, Ma. Selama ini Nala terlalu sibuk, kan? Nala selalu tergesa-gesa untuk banyak hal sampai sering lupa ada diri sendiri yang perlu diperhatikan"—yang perlu dicintai dan dibahagiakan.

Tahu-tahu, bahunya direngkuh. Punggungnya menghangat. Dayita memeluknya. "Mama terharu sampai mau nangis dengernya," ucap wanita itu. Kanala berbalik. Wajah Dayita kini sejajar dengan wajahnya. Sepertinya, wanita itu juga menatapnya lekat-lekat. "Kapan kamu jadi sedewasa ini?"

Dengan hati yang terasa penuh, Kanala balas memeluk Dayita. "Kalau dewasa itu berarti berani melepaskan sesuatu yang dianggap berharga untuk kemudian memilih diri sendiri, Nala jadi dewasa pagi ini, Ma," ungkapnya lirih.

Pelukan Dayita mengerat. Tepukan pelan di punggungnya terasa hangat. Ketika tak sengaja pandangan Kanala bertubrukan dengan buku bersampul ungu muda yang terselip di antara buku-bukunya, buku puisi yang ia tulis dengan segenap rasa, Kanala sadar bahwa pada akhirnya pria itulah yang menjadi alasan habisnya seluruh perasaan Kanala untuknya—tanpa sisa.

***

"Skripsiku udah hampir selesai."

Kanala membawa kabar gembira itu pada Gentari di suatu siang di kantin fakultas sastra saat sahabatnya sejak kecil itu menyambanginya dalam rangka kangen. Akhir-akhir ini Kanala mendadak susah ditemui dan susah dihubungi. Kalau tadi pagi gadis berambut keriting itu tidak tiba di rumah Kanala sebelum gadis itu berangkat ke kampus, mungkin mereka tidak akan bertemu hari ini.

"Jadi lo yang nggak ada kabar berminggu-minggu tuh lagi ngerjain skripsi?" tanya Gentari tanpa menoleh. Gadis itu sibuk menekuri mie ayam dengan segelas es teh manis yang terhidang di depannya.

Djakarta, Pukul 11.11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang