"Gimana acara kemarin, La?"
Mendadak, rasa udang goreng tepung dengan sambal yang baru masuk ke mulutnya menjadi pahit. Kanala menelannya bahkan sebelum selesai dikunyah.
"Lancar, Pa," jawabnya pendek.
Ritual makan malam seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sudah lebih lima belas tahun Kanala menjalaninya dengan damai. Hanya saja, ada malam-malam tertentu di mana makan malamnya terasa lebih panjang dan lebih dingin.
Malam-malam seperti itu terjadi ketika Pandu Mahesa, papanya, bertanya mengenai kegiatan-kegiatannya.
"Nala ikut di barisan paling depan, loh, Pa. Jadi pembawa baki. Keren, ya?" Dayita bersuara penuh minat. Wanita itu tersenyum cerah ke arah Kanala yang menimpalinya dengan senyum kecut.
"Tapi sekolah kamu gak terganggu, kan? Papa denger kamu sering gak ikut masuk kelas karena latihan beberapa minggu ini."
Kanala menelan salivanya pahit. Gadis itu mencoba berkilah dengan mengatakan segala mata pelajaran yang tertinggal sudah dia pelajari dengan meminjam buku catatan milik Faiza.
"Apa yang kamu baca di buku catatan temanmu jelas berbeda dengan apa yang dijelaskan gurumu di kelas, Kanala."
Artinya, Kanala tidak boleh berkilah atau sekadar memberi alibi bahwa sekolahnya masih utama. Gadis itu menunduk, menekuri nasinya yang baru tersentuh sepertiga dengan perasaan malang.
"Papa gak minta kamu jadi yang paling utama di kelas, Nala. Papa cuma mau kamu fokus ke sekolah kamu aja. Jangan melakukan hal-hal yang tidak penting," tegas Pandu.
Pramuka menjadi bagian hal-hal tidak penting yang disebutkan Pandu tadi.
Percakapan ini sudah terjadi beberapa bulan lalu saat Kanala meminta izin untuk mengikuti ekstrakurikuler di sekolahnya. Dengan tegas, Pandu mengatakan bahwa dia tidak suka jika Kanala melakukan hal-hal yang tidak ada gunanya.
Namun, berkat Dayita—suaranya masih terdengar saat itu dengan syarat Kanala tidak boleh melewati batas—Kanala diperbolehkan ikut ektrakurikuler. Syarat lainnya, Kanala juga harus bergabung di klub Ekonomi sekolah untuk menyiapkan diri mengikuti olimpiade tahun depan.
"Kanala, kamu dengar Papa, kan?"
Kanala mengangguk. Dia bahkan tidak berani menatap wajah iba Dayita yang juga tidak bisa membelanya.
"Dengar, Pa," jawab Kanala pelan.
Makan malam malam itu berakhir tanpa suara. Kanala kembali ke kamarnya usai membantu Dayita membersihkan meja dan mencuci piring. Cukup lama gadis itu menekuri buku catatan ekonominya tanpa benar-benar membaca isinya. Pikirannya melanglangbuana.
"Jangan melewati batas, Nala, dalam hal apapun!" Perintah itu tersuara begitu saja di kepalanya. Selalu. Sejak dulu. Sejak Kanala memahami segala aturan Pandu untuknya.
Ada dua aturan besar Pandu yang sama sekali tidak boleh dilanggar Kanala; melewati batas dan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Masuk ruang BK karena sering absen atau terlambat, misalnya, masuk ke kategori melewati batas. Sementara pramuka dan menulis--kegiatan yang diam-diam masih sering Kanala lakukan--termasuk dalam kategori hal-hal tidak penting.
Kanala tidak tahu benar apa yang diinginkan Pandu darinya. Kanala tidak tahu secara spesifik Pandu ingin dirinya menjadi seseorang yang seperti apa; dokter, pengacara, atau bekerja di instansi pemerintah seperti Pandu. Hanya saja, Kanala tahu pasti jika Pandu ingin anak yang tidak bermasalah dan berguna, tentu saja.
Perhatian Kanala jatuh pada topi boni miliknya yang masih terletak di meja belajar. Gadis itu tersenyum kecut. Sebesar apapun kegemarannya pada hal-hal yang dia geluti, Kanala tidak akan melewati aturan-aturan Pandu. Sekalipun pramuka—atau menulis—menghidupkan sesuatu dalam dirinya, Kanala lebih memilih menguburnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Djakarta, Pukul 11.11
Ficção Adolescente#1 poem (03/09/24) Kanala Btari Sora tidak pernah berencana menyatakan perasaannya pada Benua Kalundra, si kakak kelas populer yang menjungkirbalikkan idealismenya hanya lewat uluran tangan. Bagi Kanala, menikmati hubungan tak bernama itu lebih baik...