"Yang tengah diperjuangkan belum tentu baik. Tapi yang baik, pasti akan diperjuangkan."
•••
Kanala memenuhi janjinya. Usai kelas Jumat sore itu, Kanala lantas bertolak ke Jakarta dengan kereta. Gadis itu baru sampai ke rumah tengah malam. Kemeja kotak-kotaknya lecek. Anak-anak rambutnya banyak yang meloloskan diri dari kunciran. Kanala letih bukan main.
Namun, melihat Pandu dan Dayita duduk di ruang tengah, dengan kue ulang tahun dan lilin menyala, rasa lelahnya menguap begitu saja.
Kanala tergelak tipis. "Astaga, Mama Papa! Ini udah lewat tengah malem, loh," ujarnya.
Dayita mengembangkan senyum. "Papamu yang punya ide," katanya. Berikutnya, wanita itu disikut Pandu.
Kanala tersenyum. Papanya masih sama. Masih pemuja gengsi. Segera Kanala menghampiri keduanya, menyalimi dan memeluknya singkat sebelum perayaan ulang-tahun-terlambat-seminggu itu diadakan.
Bagian termanis malam ini, Pandu menyuapinya sepotong kue dengan senyum kecut. Matanya tampak memerah. Namun, pria itu tak berkata apa-apa.
"Papa nangis?" tuding Kanala mendekati wajah sang Papa.
Sontak saja Pandu memalingkan muka dan meletakkan piring kecil yang dipegangnya kembali ke meja. "Nggak," sanggahnya.
"Tapi mata Papa merah gitu, kayak mau nangis. Atau Papa baru nangis?" buru Kanala.
"Papamu sedih," timpal Dayita.
"Kenapa? Karena mau pindah?"
"Tanya aja tuh sama Papamu."
Kanala beringsut mendekati Pandu yang malam ini mendadak menyukai krim kue. "Papa sedih kenapa? Nala ngelakuin kesalahan, ya?" tanyanya.
Pandu hanya menoleh singkat. Cukup lama Kanala menunggu hingga satu jawaban pelan keluar dari bibir pria itu. "Papa sedih... karena kamu udah dewasa."
Kontan, Kanala tergelak. Tidak hanya Pandu, Dayita pun bahkan melotot horor ke arahnya.
"Kamu ngetawain Papa?" tanya Pandu.
Kanala menggeleng menahan senyum. "Papa lucu, sumpah! Masa anaknya udah 20 tahun malah sedih. Seneng dong harusnya, Papa udah berhasil ngerawat aku selama itu," kelakarnya.
Pandu menyentil keningnya sebelum bersungut-sungut meninggalkan ruang tegah. Sebelum mencapai tangga, pria itu berpesan singkat. "Makan dulu sana! Kamu pasti belum makan, kan?"
Selepas kepergian Pandu, Dayita menyeletuk. "Malu, tuh, Papamu. Gengsinya emang keterlaluan. Padahal sama anak sendiri."
"Tapi Papa yang kayak gitu lucu tau, Ma. Beda banget sama Papa yang dulu. Papa banyak perubahannya gak sih setelah dua tahun ini?" tanya Kanala.
Dayita menoleh. Menatapnya dengan kening berkerut. "Gak kebalik?" tanya wanita itu.
"Apanya yang kebalik, Ma?"
"Papamu mah dari dulu emang gitu. Dari zaman kuliah juga udah begitu. Makanya dulu Mama bilang Papamu tuh aneh. Gak tahu cara nunjukin rasa sayangnya."
"Nala gak ngerti. Apanya yang kebalik?"
"Ya itu, gak heran ngeliat Papamu kayak sekarang. Malah yang berubah tuh kamu."
"Kok aku?"
Dayita tersenyum hangat. Wanita itu menepuk-nepuk pundak Kanala. "Bukan Papa yang berubah. Tapi sikap kamu yang udah mulai berani nunjukin apa yang kamu rasa yang buat kamu bisa ngeliat sifat Papa sebenernya."
Kanala bergeming.
"Mama seneng lihat kamu seperti ini, La. Bahagia. Bebas ngelakuin apa yang kamu mau. Tapi walaupun begitu, kamu harus tetap cerita ke Mama kalau ada apa-apa, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Djakarta, Pukul 11.11
Ficção Adolescente#1 poem (03/09/24) Kanala Btari Sora tidak pernah berencana menyatakan perasaannya pada Benua Kalundra, si kakak kelas populer yang menjungkirbalikkan idealismenya hanya lewat uluran tangan. Bagi Kanala, menikmati hubungan tak bernama itu lebih baik...