[SELESAI]
Yoo Jimin tahu garis hidupnya sudah diatur, dan Royal Empire adalah masa depannya. Apa pun keputusan dalam hidupnya, semua sudah diatur oleh ayahnya yang otoriter. Jimin tidak terkejut kala sang ayah mengatakan bahwa ia akan segera bertuna...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
STOOOOOP!
***CARI DAN BACA CHAPTER 30 DULU, YA.***
Siang itu, seperti biasanya Jisung pergi ke kedai kopi langganannya. Begitu memasuki kedai, indra penciumannya disambut oleh aroma yang membuat otot-ototnya lebih rileks. Itulah salah satu alasan ia lebih senang membeli kopinya sendiri, ketimbang memesannya lewat layanan antar atau meminta tolong seseorang.
Senyum miring timbul di wajah tampannya yang terlihat sedikit culas. Ah, rasanya tidak lengkap kalau ia tidak menggoda gadis berseragam di balik meja kasir.
"Kulihat wajahmu selalu saja begini setiap menyapa pelanggan setia ini." Jisung menunjuk wajah tampannya dengan kibasan tangan.
Yoona mendengus. "Mau pesan atau tidak?! Kalau tidak, cepat pergi dari sini," ucapnya dengan delikan tajam.
Hubungan mereka sepertinya sangat betah di zona Tom-Jerry. Justru Jisung menikmatinya―terlalu menikmati. Jisung seperti pemantik api dan Yoona layaknya sumbu kering yang mudah terbakar. Sudah begitu, Jisung suka mengguyur sumbunya dengan bensin pula.
Seringai Jisung lagi-lagi terbentuk. "Kau tahu seleraku." Ia bicara seraya menyerahkan kartu kreditnya.
"Maaf, tapi kau tidak sespesial itu sampai aku ingat apa yang jadi seleramu."
"Tidak sespesial? Berarti ada sedikit unsur spesial?"
Yoona mengeratkan rahangnya dan mendelik kesal. Jemarinya bergerak lamaban mencatat menu 'Vanilla Latte'. Sebenarnya ia ingat betul apa menu andalan Jisung, tapi mana mau ia mengaku.
Tatapan intens Jisung tiba-tiba terputus karena seseorang mendekati Yoona dan mengajaknya bicara. Jisung jelas ingat dengan pria ini. Begitu melihat pria itu, Yoona buru-buru keluar dari meja kasir dan menariknya keluar kedai.
Ia menghempaskan cekalannya dari lengan pengunjungnya dengan kesal. "Sudah berapa kali aku bilang, jangan datang ke tempat kerjaku! Kau mau buat keributan dan membuatku dipecat?! Kau mau buat sumber uangmu ini jadi pengangguran?!" desak Yoona yang berkacak pinggang.
"Aku butuh uangnya sekarang!"
"Untuk apa lagi, sih?! Aku sudah berikan uang yang tersisa kemarin! Baru saja kemarin! Kau pikir aku brangkas uangmu?!"
"Ck! Kau pikir itu cukup untuk bayar utang dan gaya hidupku?!"
Yoona memejamkan mata dan menarik napasnya dalam-dalam. Ya Tuhan, berapa lama lagi ia harus bertahan hidup berdampingan dengan orang tidak tahu diri seperti kakaknya ini. Kalau bukan karena hubungan itu, Yoona jelas tidak akan sudi jadi sapi perahnya.
"Utang lagi?! Memang seharusnya mereka tidak usah mengeluarkanmu dari penjara dan rehabilitasi! Dasar sampah masyarakat! Aib keluarga!"
"Oooh, kau makin berani sekarang? Mentang-mentang aku sudah lama tidak memukulmu, kau pikir aku jadi melunak sekarang?" Pria berperangai sangar itu―banyak tato dan juga tindikan―jelas geram dikata-katai. Tak terima, ia segera melayangkan pukulan ke kepala adiknya. Tak selesai sampai di situ, ia pun menjambak rambut panjang sang adik yang diikat.