CHAPTER 7 | PUNISHMENT

1.4K 182 10
                                    

Heyho, makasih untuk yang mau komen dan vote

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Heyho, makasih untuk yang mau komen dan vote. Mohon jangan jadi sider (silent reader) ya guys 🙏

***

Jumat siang tiba. Seperti biasa, Jimin tengah disibukkan dengan urusan perkuliahan dan tugas-tugasnya. Di perpustakaan kampusnya, Jimin tenggelam di antara tumpukan buku, perhatiannya kini terpusat pada laptopnya.

"Hei."

Jimin menengadah dan tersenyum begitu melihat Haechan. "Hei."

"Sudah waktunya makan siang." Haechan menyingkirkan sebagain buku yang menumpuk, menghalangi penglihatannya dari Jimin.

Jimin membenarkan letak kacamatanya, lalu fokus lagi pada laptopnya. "Aku tidak lapar."

"Ke mana perginya Jimin yang selalu peduli dengan waktu makannya?" Benar. Gadis itu memang selalu peduli dengan jadwal makannya, sebagai salah satu bentuk menjaga kesehatan.

Jimin melirik sejenak, ada seulas senyuman di bibirnya. "Baiklah, tapi setelah aku menyelesaikan satu nomor terakhir."

"Oke." Haechan memainkan ponselnya selagi menunggu Jimin.

Tak sampai 15 menit kemudian, Jimin selesai dengan tugasnya. Tepat setelah ia menyimpan laptopnya, benda persergi panjang yang ia simpan di meja bergetar beberapa kali. Jimin mengabaikan pesan yang baru saja masuk begitu melihat nama pengirimnya.

"Sudah?"

"Mhm," gumam Jimin seraya bangkit.

Drrt ... Drrt ... Drrt ...

Kali ini, getar panjang ponsel Jimin berhasil mencuri perhatian Haechan. Pria itu pun sempat melihat nama penelepon.

"Lee Jeno?" Kening Haechan berkerut.

Jimin menekan tombol merah. "Ayo!" Ia menarik tangan Haechan untuk melanjutkan langkah mereka menuju kafetaria.

"Dia masih mengganggumu?"

"Sesekali." Jimin tak ingin menjelaskan, tak ingin juga berbohong.

"Haruskah aku membantumu membuatnya berhenti mengganggumu?"

Jimin terkekeh sejenak. "Aku bisa mengurusnya. Terima kasih atas tawarannya."

"Jangan remehkan aku karena dia terlihat lebih 'berotot' dariku. Aku tidak akan segan-segan menghabisinya jika dia macam-macam denganmu."

Jimin terkekeh lagi. "Aku percaya."

Haechan memanyunkan bibirnya. "Kau tidak percaya."

Jimin menoleh. Bibirnya tersemat sebuah senyuman manis. "Aku percaya." Ia berkata dengan sungguh-sungguh.

Haechan menghela napas. "Tidak meyakinkan, ya?"

Jimin terkekeh pelan. "Sudahlah, ayo pergi. Aku sudah lapar!" Ia memimpin jalan.

ROYAL AND NOBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang