"there is no reward for the fastest healer. take your time, your healing journey is not a competition and not a race."
- anonymous-•••-
Saturday
14.25 PMSagara tengah duduk di atas sofa yang ia duduki satu minggu yang lalu. Sementara di hadapannya, terdapat seorang pria yang tengah membaca isi dari sebuah notebook yang juga duduk di tempat yang sama seperti minggu lalu.
Ketimbang pertemuan pertama, kali ini Sagara merasa tidak tegang seperti sebelumnya. Terlepas dari entah apa hasil diagnosis untuk kasusnya, dia sudah menyiapkan dirinya.
Notebook yang tengah dibaca Ardhi tak lain adalah homework yang beliau minta kepada Sagara untuk mengerjakannya selama seminggu.
Tujuan Ardhi untuk meminta Sagara melakukan homework di rumah selama seminggu tidak lain karena, dengan apa yang ditulisnya bisa membantu beliau untuk menelaah aspek-aspek penting yang berpengaruh dalam tindakan terapi yang akan beliau terapkan kepada Sagara. Diantaranya seperti behavior (perilaku), emotion (emosi), cognitive (kognitif), dan lingkungan sekitar sang klien.
Begitu sudah selesai membaca, Ardhi mengembalikan buku itu kepada Sagara.
"Sagara, I want to ask you something." Pinta Ardhi. Dan begitu suaranya memecah keheningan, sang klien balas menatap matanya.
"Kamu termasuk sering ga mengalami konflik dengan Kakak-kakak kamu ?"
Pertanyaan itu muncul karena di saat Ardhi membaca isi notebook tadi, beliau mendapati adanya konflik yang muncul beberapa kali dalam satu minggu. Dan sejak awal mengenal Sagara, fokus beliau di awal adalah mengurai benang kusut pada diri sang klien yang bersumber dari permasalahan keluarga. Perihal yang lain akan beliau bahas belakangan seiiring berjalannya waktu.
Karena tidak bisa membohongi seorang terapis profesional, maka Sagara menjawab dengan jujur. "Sering sih."
Sesuai dugaan.
"Biasanya, apa pemicu konflik kalian ?"
Sagara berpikir sejenak. Kalau ditanya soal pemicu, ada banyak. Kalau dia sebutkan semuanya sekarang ini, sesi terapi akan habis hanya untuk itu. Jadi sekarang, Sagara tengah berusaha untuk membuat beberapa poin penting dari pemicu konflik antar dirinya dengan Kakak-kakaknya.
"Mulai dari masalah akademis. Biasanya masalah ini yang marah pasti Kakak sulung. Seringnya juga masalah peraturan di rumah. Atau masalah-masalah sepele."
Dengan cepat, Sagara melirik sang terapis. "Sebenarnya ini pemicu yang paling biasa." Dia yakin kalau sang terapis mengira masalah mereka terlalu sepele. "Tapi yang paling seringnya juga, mereka itu suka mengungkit-ungkit masa lalu. Dan seringnya juga, yang konflik itu antar mereka, tapi saya kena imbasnya."
Sebenarnya Ardhi ingin menggali lebih lanjut akan pengungkitan masa lalu. Hanya saja, ketika Sagara mengatakan pemicu terakhir, atensinya justru berpindah.
"Maksud kamu dengan konflik antar mereka tapi kamu yang terkena imbasnya ?" Ardhi sebenarnya paham maksud Sagara, tapi beliau ingin mendengar langsung dari sang klien.
"Ya mereka itu sering konflik akan masalah personal, tapi saya yang engga ada keterlibatan malah ikut didiemin, di-treat dengan dingin, dan ngomong ke saya dengan emosi. Misalnya mereka habis konflik, terus saya ada nanya suatu hal yang sama sekali engga ada kaitan dengan konflik mereka, saya malah disemprot habis."
Ardhi mengangguk paham. Ternyata sesuai dengan dugaannya. "Sebenarnya banyak orang yang bisa melimpahkan emosinya terhadap orang di sekelilingnya, Sagara." Tapi beliau seperti mencurigai sesuatu. "Tapi gimana sikap mereka setelah konflik selesai atau kepala udah dingin ? Ada permintaan maaf karena meluapkan emosi ke kamu yang engga salah apa-apa ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wounded Soul (ft.ENHYPEN)
Fanfiction"Healing is hard. But so is constantly, desperately trying to hold yourself together." - Kisah mengenai jiwa penuh luka yang berjuang untuk berdamai dengan semua kegelapan hidupnya, yang kelak kisahnya tak akan pernah terhapuskan oleh waktu. - ••• b...