-07 : which way is up-

421 46 4
                                    

"I think it's really important to
take the stigma away from
mental health ... My brain and
my heart are really important to me.
I don't know why I wouldn't seek
help to have those things
be as healthy as my teeth."
-Kerry Washington, from HuffPost.

-•••-

Five Days Later
08.45 AM

"Sa ? Astaga belum bangun ternyata. Pules amat tidurnya."

Suara itu berhasil membuat Sagara membuka matanya. Percaya lah, dia tidak sepenuhnya tertidur.

"Kak Jav ? Kapan datangnya ?"

Javier yang tadi memanggilnya itu terkejut. "Lha udah bangun toh." Ekspresi wajahnya berubah ketika dia memperhatikan wajah adiknya secara saksama. "Oh my god. Kok pucat banget sih ?"

Mendengar itu, Sagara mengangkat kedua alisnya. "Masa ?" Dia kemudian duduk dan sedikit mengernyit, karena rasa pusing malah datang tanpa diundang.

Suara dengusan keluar dari Javier. "Ya iya lah. Ngapain kakak bohong ?" Dia kemudian menatap Jayendra yang sedang berdiri menatap jendela ruang rawat. "Sagara gimana kondisinya dari semalem ? Dia gak tidur apa gimana ?" Dia menatap adiknya itu sekilas. "Muka dia pucet banget, Jay."

Jayendra menyeruput kopi americano-nya sebelum menjawab. "Dia sempet tidur. Cuman pas jam dua belas, dia kebangun karena kesakitan. Gue aja sampe kebangun karena dia teriak ngeluh sakit."

"Sempet gue panggil perawat, terus dikasih injeksi pain killer karena emang nyaris pingsan. Nah terus, kira-kira setengah jam setelah itu, kondisi dia makin buruk. Udah tuh gak tidur sampai jam tujuh tadi lah karena bolak balik kesakitan dan muntah. Makanya dia sampai kering gitu."

Mendengar itu, Javier menjadi tidak tega dengan Sagara yang duduk diam menatap kedua kakaknya dengan wajah lesu. Ketika Javier dengan iseng mengacak rambut adiknya, dia dibuat terkejut. "Lho kok anget badannya ? Kok sampai demam segala ?"

Ketimbang Sagara yang menjawab, Jayendra bersuara terlebih dahulu. "Karena lemes sama dehidrasi, naik lah suhu tubuh dia. Makanya dia makin gak bisa tidur." Dia menatap Sagara sekilas. "Itu aja bisa tidur karena akhirnya gue minta ke perawat buat kasih obat tidur."

Rasa bersalah muncul pada diri Javier. Kalau saja dia tahu kondisi Sagara yang seperti itu, dia tidak akan memanggil adiknya seperti tadi. "Masalahnya hari ini di harus lanjut terapi lagi. Gimana mau terapi kalau dia kayak gini ?"

"Well tunggu perawat dateng buat check dia dulu. Tadi sih ngomongnya bakal ke sini sekitaran jam sembilan. Soalnya dia harus follow-up ke dokter, karena seharusnya dia mulai terapi jam setengah sepuluh."

Javier hanya mengangguk pelan. Dan begitu dia melihat Sagara, dia terkesiap karena sang adik seperti hilang keseimbangan karena tubuhnya mulai goyah. "Udah rebahan aja kamu dulu."

Sagara justru menggeleng. "Gak apa aku duduk aja." Tapi, kakaknya justru memelototinya. "I'm fine, beneran"

Karena tidak ingin berdebat, Javier pasrah. "Suhu AC nya mau dinaikkan ?" Dia bertanya demikian karena mendapati Sagara yang meskipun sudah duduk, masih membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan selimut karena meriang.

Sagara menggeleng. "Kak Harsa engga ke sini ?"

Javier duduk di tepi hospital bed, lalu menggeleng. "Gak keburu katanya, soalnya dia bilang pagi ni ada meeting."

Anggukan Sagara dengan wajah datar adalah jawabannya. Mendapati Harsa yang memprioritaskan pekerjaan ketimbang keluarga adalah suatu hal yang wajar.

Sama kayak ayah.

The Wounded Soul (ft.ENHYPEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang