-08 : the white room-

442 46 3
                                    

NB : di chapter ini terdapat perkara yang menyinggung tentang metode konseling psikologis dan beberapa permasalahan psikologis beserta metode terapinya. Kalau sekiranya didapati kesalahan, dipersilahkan untuk mengkoreksinya. terima kasih !

-•••-

"even the moon passes through the phases to return to full.
healing takes time."
-sonia

-•••-

Around One Week Later
Saturday
15.05 PM

Ruangan itu benar-benar di luar dugaan Sagara ; ketimbang ruang terapi, sepertinya lebih baik disebut ruang tamu.

Meskipun ruangan bercat putih itu tidak terlalu besar, tapi kesan homy-nya sangat terasa.

Ruangan itu hanya terdiri dari sebuah chaise sofa sedang berwarna wishper grey, lalu dihadapkan dengan dua buah lounge chair berwarna senada, yang dipisahkan dengan sebuah meja kaca. Dan di sudut ruangan yang dekat dengan jendela, terdapat sebuah rak buku putih yang penuh dengan buku-buku yang disusun rapi berdasarkan tingginya.

Kedua mata Sagara mendapati seorang pria yang mungkin berusia empat puluhan akhir tengah duduk di atas salah satu longue chair. Begitu mereka berdua melakukan eye contact, pria itu tersenyum, lalu mengulurkan tangan begitu Sagara berjalan mendekat ke arahnya.

"Good Afternoon." Sapa pria itu dengan begitu hangat. "Nice to meet you."

Ketimbang membalas dengan senyum hangat, Sagara malah tersenyum kikuk. "Oh, Nice to meet you too... Sir ?"

Pria itu tertawa ringan. Beliau memberi kode kepada Sagara agar duduk di atas chaise sofa. "Please take a seat." Maka, Sagara dengan gerak yang sialnya, agak kaku, duduk di atas chaise sofa tersebut.

Hal pertama yang dilakukan pria itu adalah membuka sebuah map yang ada di atas meja kaca dan membacanya sekilas. Beliau menatap Sagara yang terduduk diam─dengan kata lain, zoning out. "Take it easy, Nak."

Sagara sedikit terkejut. Maka dia menatap pria itu dengan gelagapan. Ah sungguh konyol dia termenung seperti tadi. Kedua bibirnya menyunggingkan senyum kaku.

Pria itu membalas senyumannya.

Dia orang yang terlalu kaku.

"Mainly I'll introduce myself." Pria itu tidak melepaskan tatapannya dari Sagara. "Saya Ardhi Rahardika. You can call me Ardhi."

"Ah." Sagara sedikit tersadar kalau dia juga belum memperkenalkan dirinya. "Saya... Sagara Adhiyaksa."

Pria bernama Ardhi itu mengangguk. Interesting, dia tidak menyebut nama belakangnya. Padahal, orang pada umumnya akan menyebutnya dengan penuh kebanggaan.

Ardhi meletakkan map itu di atas meja. Beliau sudah tahu mengenai Sagara dari Liana, ibunya Liam. Tapi sebagai bentuk kode etik, beliau tidak akan membuka hal itu. "How are you doing these days, Sagara ?"

Pertanyaan biasa. Sagara menelan ludah sebelum menjawab. "Ah... I'm doin' great." Dia meraba tangan kirinya yang basah karena keringat.

Dia menyembunyikan sesuatu.

Karena ini adalah sesi konseling pertama, maka pertanyaan Ardhi masih seputar hal umum, seperti riwayat pendidikan, status hubungan, hingga pertanyaan :

"Sejauh ini, kamu punya medical history ?"

Mendengar pertanyaan itu, Sagara yang sedang memegang selang ekstensi TPN nya terdiam. Apakah pertanyaan itu dilontarkan karena sang psikolog melihat selang tipis dari dalam tas yang tersambung ke tubuhnya itu ?

The Wounded Soul (ft.ENHYPEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang