Happy Reading!!!
****
“Lo tinggal sendirian di sini?” tanya Aruna sembari melihat-lihat apartemen Mario yang begitu rapi dan bersih. Tidak terlihat seperti di tinggali seorang laki-laki. Apalagi mengingat kamarnya yang tidak serapi hunian Mario ini.
Di kamarnya selalu saja ada barang yang tidak di simpan pada tempatnya, entah karena ia terburu-buru atau memang malas membereskannya. Yang jelas Aruna merasa malu melihat ini.
“Kenapa memangnya? Lo mau nemenin gue tinggal di sini?” bukannya menjawab, Mario malah justru balik bertanya. Sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan Mario. Membuat Aruna tak segan meloloskan degusannya.
Enggan menanggapi, Aruna memilih untuk lanjut melihat-lihat. Dan harus Aruna akui bahwa Mario pintar memilih tempat tinggal juga isinya. Untuk ukuran laki-laki, apartemen Mario memiliki dapur dengan perabotan yang cukup lengkap meski terlihat jarang di gunakan. Lemari pendinginnya pun tidak hanya di huni air mineral saja. Ada berbagai macam buah, beberapa jenis frozen food, telur, camilan dan bir.
Sepertinya yang satu itu tidak akan terlewat. Aruna jadi penasaran secandu apa Mario pada minuman beralkohol. Namun Aruna tidak berniat bertanya. Biarkan saja ia tahu dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Mungkin. Aruna sendiri tidak tahu hubungan semacam ini akan bertahan berapa lama.
Aruna tidak ingin banyak berharap.
“Kenapa laki-laki lebih suka apartemen?” lagi sebuah tanya Aruna layangkan. Bukan tanpa alasan, Aruna memang penasaran, karena tidak sedikit ia mengenal laki-laki yang menyebutkan apartemen sebagai tempat tinggal. Padahal menurut Aruna rumah lebih nyaman dan efisien.
“Lebih simple aja sih ngerawatnya,” Mario mengedikkan bahunya ringan, tidak tahu juga jawaban yang tepat mengenai hal itu, karena nyatanya alasan utama Mario memilih tinggal di apartemen adalah kebebasan. Ia juga tidak perlu berbasa basi dengan tetangga sebagaimana di kompleks-kompleks perumahan kebanyakan. Bukan berarti Mario anti sosial, ia hanya tak suka siapa pun mengulik kehidupan pribadinya.
“Ngerawat rumah juga simple kali, Yo. Lagi pula lo bisa pakai jasa ART kalau memang gak sempat beres-beres sendiri.”
Tak lantas menjawab, Mario lebih dulu meneguk mineral dinginnya untuk meredakan rasa hausnya, setelah itu melangkah menghampiri Aruna dan memeluknya dari belakang. Tubuh tegang Aruna membuktikan bahwa perempuan itu terkejut. Tapi tidak ada protesan yang diberikan, bahkan ketika sebuah kecupan singkat Mario berikan di pundak perempuan itu.
“Gue gak suka ada orang asing di tempat pribadi gue,” akhirnya Mario memberi jawaban, dilanjutkan dengan memberi Aruna kecupan-kecupan ringan lain di sekitar pundak dan tengkuknya. “Lo orang asing pertama yang gue bawa ke sini.”
“Kenapa?” di tengah menahan geli akibat kegiatan bibir Mario di tengkuknya, Aruna bertanya.
“Gue bosen main di hotel. Bayarnya mahal,” jawabnya tanpa beban.
Aruna yang semula menunggu dengan jantung deg-degan lantas dibuat kesal. hingga sebuah geplakan diberikan Aruna di tangan Mario yang melingkar diperutnya. Bukan, Aruna bukannya berharap Mario menganggapnya spesial, Aruna justru berpikir bahwa Mario akan menjawab bahwa pria itu sendiri tidak tahu alasannya. Sial saja jawaban Mario malah justru jauh dari yang dipikirkannya.
Itu benar-benar menyebalkan.
Sungguh!
“Dua minggu lalu gue bayar hotel, mahal lagi, eh gak gue tidurin. Sayang uang, Run. Cari duit susah.”
“Maksudnya lo mau minta ganti rugi nih?” sewot Aruna seraya berbalik cepat dan menatap Mario dengan sinis kala sadar bahwa hari itu memang Mario lah yang membayar kamar hotelnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...