Happy Reading!!!
***
“Ke mana lo kemarin?Gue minum sendirian, jir, Ari bilang lo sulit di hubungi,” Nathael mendelik mendapati Mario yang baru saja datang, padahal hari sudah hampir tengah malam.
Bar ini memang milik pria itu, Mario bebas mau datang jam berapa pun, bahkan tidak datang sekalipun. Tapi tetap saja bagi Nathael itu tidak biasanya. Apalagi kemarin itu adalah malam minggu, saat di mana pengunjung bar lebih ramai dari hari-hari biasanya.
Mario biasanya akan stay, membantu Ari melayani pelanggan yang datang, atau berburu perempuan. Tapi kemarin pria itu absen, padahal Ari bilang tidak ada pekerjaan yang mengharuskan bosnya itu bepergian.
“Lo kenapa ke sini?” tak menghiraukan kalimat Nathael, Mario justru bertanya tujuan kedatangan sahabatnya itu. Membuat Nathael mendengus dan menatap Mario tak senang. Tapi Mario mana peduli. “Galau?” lanjutnya menebak, dan ketika sebuah dengusan lagi-lagi sahabatnya itu loloskan, Mario tahu bahwa tebakannya tidak meleset. Apalagi setelahnya Nathael meneguk bir di gelasnya hingga tandas.
Tak salah lagi, sahabatnya satu itu memang sedang merasakan keresahan hati.
Nathael nyatanya tidak jauh berbeda dengan Bian. Dua sahabatnya itu memiliki permasalahan hati yang sama rumit. Bedanya Nathael tidak menunjukkannya terang-terangan. Terkadang Nathael bersikap seolah tidak apa-apa. menunjukkan diri seakan dia baik-baik saja. Faktanya Nathael hancur. Dan Mario yang memahami itu.
Setiap kali mereka hanya berdua, keceriaan Nathael akan luruh tanpa sisa. Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi tatapan tengil, apalagi sikap menyebalkannya. Yang ada hanya Nathael yang bagai manusia tanpa nyawa. Mungkin benar, Bian adalah yang paling menderita, tapi Nathael yang hancur perasaannya.
Sebenarnya diantara mereka berempat, yakni dirinya, Nathan, Nathael dan Bian tidak ada yang benar-benar baik-baik saja. Setidaknya sebelum Bian dan Zinnia rujuk. Sekarang sahabat satunya itu sedang menikmati kebahagiaannya, buah dari takdir yang dilalui dengan banyak drama hingga air mata.
Sekarang tersisa mereka bertiga. Untuk dirinya sendiri, Mario tidak begitu peduli meski benci tidak pernah ingkah dari hatinya. Tapi Mario masih bisa mengatasi. Lagi pula kasusnya tak sama dengan milik sahabat-sahabatnya. Permasalahannya adalah keluarga, bukan wanita sebagaimana Bian dan dua sahabat kembarnya.
Dalam keadaan mereka berkumpul bersama, semuanya baik-baik saja. Layaknya saudara sekaligus teman, Nathan dan Nathael kerap tertawa bersama. Tapi tidak ada yang tahu dengan isi hati keduanya. Lebih tepatnya hanya Nathan. Sahabatnya satu itu terlalu tertutup hingga tidak ada siapa pun yang dapat menebak isi kepalanya.
Sejauh ini Nathan terlihat bahagia-bahagia saja bersama istrinya. Kehidupan pria itu terlihat normal, layaknya manusia yang tidak memiliki beban apa-apa. Namun Mario ragu perasaan pria itu benar-benar baik-baik saja. Sedikitnya rasa bersalah itu pasti masih ada, jauh di dalam lubuk hatinya.
Bukan salah Nathan menyukai Mutiara yang kini telah menjadi istrinya. Bukan salah Mutiara juga lebih memilih Nathan dibandingkan Nathael yang lebih dulu memujanya, semua hanya karena takdir yang tidak bisa Nathael pinta untuk berpihak padanya.
Dan, dalam kerumitan sahabat-sahabatnya itu Mario selalu saja yang harus menampungnya. Seperti ia konsultan hati saja. Tidak Bian, tidak Nathael, keduanya sama-sama merepotkan. Jadi, rasanya akan tak adil jika Tuhan tidak berbaik hati padanya. Pasalnya ia sudah menjadi penampung keluhan patah hati sahabat-sahabatnya.
“Pura-pura baik-baik aja tuh ternyata capek, ya, Yo,” mendesah pelan, Nathael kembali meneguk minuman beralkoholnya yang entah sudah gelas ke berapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...