Happy Reading!!!
****
Bangun dalam keadaan pening dan di tempat asing, Aruna mengernyitkan kening, menatap sekeliling untuk memastikan bahwa dirinya tidak terdampar di antah barantah. Baru, setelah sadar bahwa hotel lah yang menjadi tempat singgahnya saat ini, Aruna menghela lega. Sebelum kemudian mengingat-ingat bagaimana cara ia tiba di tempat ini. Dan tak butuh waktu lama untuk akhirnya Aruna mengingat semuanya. Hal yang kemudian membuatnya malu sendiri. Bahkan rasanya Aruna ingin sekali menenggelamkan diri untuk bersembunyi.
Aruna tidak menyangka bahwa dirinya akan bersikap semurahan itu. Dan Aruna tidak tahu apa yang harus dikatakannya ketika bertemu pria itu nanti.
Ah, tapi sepertinya Aruna memilih untuk tidak bertemu Mario lagi, sebab itu pasti akan sangat memalukan. Dan lagi, apa yang akan Mario pikirkan tentangnya setelah kejadian semalam? Aruna tidak bisa membayangkan, yang ada perutnya justru bergejolak, membuatnya segera turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
Efek seperti inilah yang tidak Aruna sukai setelah mabuk. Tak hanya perutnya yang terasa tak nyaman, kepalanya pun pening, sampai rasanya Aruna ingin sekali membenturkan kepalanya pada tembok di belakangnya.
“Arghh sialan!” erangnya kesal, lalu segera membasuh mulut serta wajahnya yang terlihat cukup berantakan. Patah hati yang ditimbulkan Bian benar-benar berhasil membuat Aruna hilang kendali dan kewarasan. Untung saja Aruna tidak kepikiran bunuh diri akibat patah hatinya ini.
Merasa tak nyaman dengan keadaannya saat ini, Aruna memutuskan untuk sekalian membersihkan diri. Namun selesainya dengan itu Aruna baru menyadari bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti. Pakaiannya yang saat ini tergeletak di lantai kamar mandi terlalu ngeri untuk kembali dikenakan lagi. Tidak ada noda apa-apa memang, tapi jelas tidak akan nyaman, mengingat itu sudah dipakai seharian kemarin. Aruna terbiasa mengenakan pakaian yang rapi, membayangkan kembali menggunakan pakaiannya semalam benar-benar membuatnya risi. Tapi …
Tok … tok … tok.
“Aruna, lo di dalam?”
Dan panggilan itu sontak membuat Aruna tersentak, lalu bergegas mengambil handuk yang tersedia di sana dan melilitkan ke tubuhnya yang polos. Kepalanya bertanya-tanya mengenai siapa yang masuk ke kamarnya. Namun belum sempat menemukan jawaban, suara itu kembali terdengar, diiringi ketukan di pintu. Akhirnya Aruna memilih menyahuti dan membuka sedikit pintu demi memastikan siapa pemilik suara itu.
“Lo—lo ngapain di sini?” tanya Aruna, terkejut mendapati kehadiran Mario di kamarnya. Padahal Aruna tidak pernah berpikir pria itu akan kembali ke sini, menemuinya dengan sengaja seperti ini.
“Bawain baju buat lo,” adalah jawaban Mario sembari mengangkat tangannya, menunjukkan paperbag yang dibawanya.
“Ta—”
“Gue tahu lo pasti butuh ini,” selanya mengangkat bahu, lalu meletakan tas kertas itu di lantai depan pintu kamar mandi yang hanya menampilkan sedikit kepala Aruna dengan raut wajah syok-nya. Setelahnya Mario memilih untuk pergi dari sana. Namun Aruna segera mencegahnya.
“Lo mau ke mana?” entahlah dari mana ia mendapatkan kelancangan itu. Yang jelas kini Aruna sedang merutuki mulutnya sendiri karena sudah seenaknya saja berbunyi. Padahal ‘kan cukup ucapkan terima kasih. Tidak perlu ia peduli akan ke mana pria itu setelah ini. Sialannya ia tidak bisa menarik kata-katanya lagi, apalagi saat ini Mario sudah berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Pulang,” jawabnya tanpa sama sekali berekspresi.
“Semalam lo yang bawa gue ke sini ‘kan?” Aruna bertanya hati-hati. Lebih tepatnya ragu sekaligus malu. Ia tidak tahu keputusannya memastikan ini benar atau justru salah, namun ia memang harus lebih memastikan. Siapa tahu semalam ia hanya bermimpi, iya ‘kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bed Mate
General FictionAndai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya, mau tak mau Mario akhirnya memutuskan untuk menemani. Niatnya tak lebih dari itu, tapi siapa yang m...