Chapter 3:The Truth

73 25 19
                                    

Denting pisau dan garpu saling beradu. Rasa canggung mendominasi. Pengawal istana berdiri kaku di sudut ruang. Catherina memainkan buku-buku jari, menggigit bibir tanda bahwa dirinya sedang dihantui sebuah mimpi buruk meski tidak dalam posisi terlelap.

Mata nyalang Philip berkeliling ke segala penjuru. Tidak ada yang berani menatap. Kecuali Gretta seorang. Yang kehadirannya tidak dijumpai saat ini.

"Dimana Gretta?"

Telak. Pertanyaan itu akhirnya meluncur sempurna dari bibir Philip.

Semua yang hadir di sana, mengangkat kepala. Lilianne meletakkan alat makannya, menyapu mulutnya dengan serbet. Degupan jantung Cruz terdengar oleh dirinya sendiri.

Tak ada yang berani menyahut. Mungkin mereka juga tak tahu dimana Gretta berada. Mungkin juga mereka memikirkan alasan apa yang harus digunakan untuk berdalih.

Ruang makan hening. Emosi Philip terasa akan meledak sebelum akhirnya Rick membuka suara, "Gretta pergi bersama Raymond. Kalau tidak salah menuju istana Buckingham." Ia menyuap sesendok penuh daging domba yang sudah dipotong dadu.

"Mungkin ia ingin menemui mendiang Neneknya," sela Lilianne yang berusaha meredam gejolak emosi Philip. Dan benar saja, Philip tak berkutik. Ia tak bisa menggunakan emosinya untuk membuat kacau pagi hari karena alasan yang Rick dan istrinya katakan sudah cukup bisa diterima.

"Catherina!" Perintah itu terdengar lantang dan mengerikan.

"Iya, Tuanku." Catherina berjalan mendekat dan duduk bersimpuh tak jauh dari Philip.

"Tolong urus Gretta dengan baik. Jangan lupa untuk menyuruhnya datang ke pesta dansa Elena agar ia segera menikah."

"Baik, Tuanku."

◊◊◊

"Tidak ada yang berani menginjakkan kaki di kamar bahkan koridor ini." Wanita tua itu telah menjadi pelayan setia mendiang Ratu Victoria sejak masih belia. Cara berjalannya sangat lamban, dibantu dengan tongkat lusuh yang menemaninya.

Gretta tidak sabar. Sangat tidak sabar. Maka ia berusaha membuat dirinya nyaman. Ia kembali mengingat memori masa kecil ketika ia masih tinggal di Buckingham. Koridor dengan penerangan minim yang mengarah ke kamar Neneknya, adalah koridor yang dahulu menjadi spot kesenangannya. Sepanjang koridor banyak sekali bunga yang terpajang. Namun sekarang nihil.

Koridor yang mereka lewati, gelap dan mencekam.

"Jelas tidak ada yang berani. Auranya sangat menyeramkan," bisik Gretta.

Wanita tua itu menghentikan langkah. Merogoh saku roknya, mencari sesuatu yang mengeluarkan suara gemerincing. Gretta dan Raymond bisa menebak. Wanita tua itu sedang mencari sebuah kunci.

Semua kunci yang berada di sakunya, sudah ia coba untuk membuka pintu. Hasilnya nihil. Tidak ada satupun kunci yang cocok. Wanita tua itu agaknya khawatir, tercetak jelas dari guratan keningnya yang berkerut, dan semakin berkerut.

Sebelum akhirnya mereka menyerah, Gretta merasakan sesuatu yang bergerak dari saku gaunnya. Gretta yakin ia tidak memiliki apapun di sana. Dengan keyakinan penuh ia merogoh saku dan menemukan sebuah kunci berwarna emas pudar. Dikeluarkannya kunci itu dari dalam saku.

Wanita tua dan Raymond terkejut.

Wanita tua itu mengenal baik kunci emas yang berada di tangan Gretta. Itulah kunci yang sedari tadi ia cari. Ia amat tidak percaya karena terakhir kali yang membuka kamar mendiang Ratu adalah dirinya sendiri, tepat sebulan lalu. Kunci kamar pun hanya ada satu. Tak ada duplikat sama sekali.

Gretta merasakan keanehan itu. Tetapi ia tak ambil pusing. Ia masukkan kunci itu ke lubang kunci.

Dan, pas sekali.

Queen of SwordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang